Postingan

Menyalakan Bara

Mandalakrida dibawah terik. Puasa begini, masih ada saja yang muda balapan sepeda motor. Deru mesin menyeruak lewat knalpot hingga 200 meter jauhnya. Berputar putar menguji kecepatan maksimal di tikungan, mengukur derajat kemiringan paling optimum. Warung pinggir jalan masih beberapa yang buka. Beberapa muda menyantap siomay. Matanya menyempit, agaknya bumbu kacang yang membalut gulungan daun kol cukup pedas. Tapi segelas es jeruk yang diliputi embun sepertinya telah membuat matanya kembali berbinar. Ih. Beruntunglah kalian, perempuan. Toko buku, ditengah kota. Tidak seramai dulu. Mungkin ini gara gara ulah google atau whatpad dengan buku buku gratisnya. Ah, tidak. Menyalahkan keadaan adalah sama dengan mengumpat terbitnya fajar. Tidak berguna walaupun masih tetap banyak penggemarnya. Sia sia, walaupun masih ada yang mempraktikkannya. Tapi tidak mengapa, berbuat sia sia kadang juga berguna daripada perbuatannya menghalangi orang yang sedang berkarya. Saya mencari Pram. Bung Pram. Bum

RAMADHAN DAN KEBUASAN MANUSIA

t.me/faridsurya Ketika kanjeng Nabi dihina oleh sebagian besar masyarakat kota Makah hingga dikatai gila, dilempar batu bahkan dilempar kotoran, rupanya malaikat Jibril tidak sabaran. Ia menawarkan kepada kanjeng nabi untuk menumpahkan gunung diatas kota Makah, tapi kanjeng Nabi menolak. Maka bisa dibayangkan betapa kokohnya struktur hati kanjeng Nabi untuk menahan diri dari keinginan keinginan manusiawi, yang cenderung buas. Manusia sebenarnya adalah makhluk yang diciptakan dengan potensi kebuasan paling besar diantara makhluk lain. Contohnya adalah Firaun. Ketika segala kekuasaan dan kekayaan berada ditangan maka ia menjelma menjadi makhluk paling buas, bahkan puncaknya adalah mengaku dirinya Tuhan. Ia bisa membunuh siapa saja yang ia suka, mencengkeram rakyat dibawah kebuasannya. Puasa adalah perang melawan hawa nafsu, kata Kanjeng Nabi. Lebih berat daripada perang yang sesungguhnya dengan musuh yang tampak mata. Melawan hawa nafsu adalah melawan kebuasan yang terpelih

AKBAR TANPA PERSEPSI

t.me/faridsurya Besar dan kecil yang sejak dahulu kita kenal adalah ukuran dari sebuah bentuk. Butir debu kita anggap kecil karena kita melihat gunung lebih besar. Maka ukuran terkecil dan terbesar yang mampu kita bayangkan selalu terbatas pada bentuk yang pernah kita lihat. Allahu Akbar. Allah maha besar. Besar yang tidak terbatas. Dalam merasakan makna kebesaran Allah kita masih sering menganggap bahwa Allah yang besar itu berada diluar diri kita, sebagaimana kita membayangkan bentuk yang paling besar yang mampu kita jangkau. Padahal kebesaran Allah adalah besar yang sama sekali tidak sama dengan besarnya bentuk apapun. Kebesaran Allah adalah besar yang meliputi segala sesuatu. Andaikan manusia adalah sebuah titik, maka Akbar nya Allah adalah ruang tak berbatas keatas, tak berbatas kebawah, tak pula berbatas ke kanan kiri, yang melingkupi titik. Maka Akbar yang sesungguhnya adalah akbar yang tanpa persepsi bentuk. Akbar yang tak serupa dengan bentuk apapun yang kita an

Hinakan Diri, Untuk Menghargai

“Apa sebenarnya kemuliaan itu?” salah seorang kawannya menjawab, “ Inna akramakum ‘indallahi atqaakum , sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang paling taqwa diantara kalian”.   “Jadi sama sekali tak ada gunanya yang namanya banyaknya harta dan tingginya pangkat itu?” “Memang tak ada gunanya jika itu semua tidak disandarkan pada tujuan karena Allah. Semua akan dapat diterima sebagai amalan baik dan akan tercatat sebagai pahala jika diawalai atau dilaksanakan dengan sebuah harapan, mengharap keridhaan Allah.” “Bukankah kita beribadah itu karena kita mengharapkan syurga dan terjauh dari neraka?” “Bagi manusia yang sebegitu kecil dihadapan Allah, rasanya tidak pantas kita mengharap itu semua kepada Allah. Hanya ridho Allahlah yang akan mendatangkan kebaikan bagi kita didunia dan di akhirat kelak.” “Jika kita telah mendapat ridha Allah apakah kita akan menjadi manusia yang mulia?” “Kemuliaan hanyalah disisi Allah dan jika kita patuh pada perintah-pe

Dari Jogja Hingga Jogja

Tiba-tiba ada energi yang mengajakku untuk kembali melihat kampung kelahiran. Seorang kawan mengatakan kepadaku bahwa aku diminta untuk menjadi moderator dalam acara seminar pendidikan. Aku berfikir sejenak. Pertimbanganku yang pertama adalah bahwa aku harus bolos kuliah lagi. Yang kedua, baru saja seminggu lalu aku pulang ke rumah. Ketiga, ongkos yang harus aku keluarkan untuk transportasi tidaklah sedikit. Kalau ongkos itu digunakan untuk hidup di jogja mungkin cukuplah kalau sekedar makan satu minggu. Tapi ada energi yang mendorongku untuk meng-iyakan tawaran kawanku itu. Seminar itu adalah dalam rangka Musyawarah Daerah IRM, organisasi yang menghantarkan aku pada sebuah proses yang amat berpengaruh dalam kehidupanku. IRM adalah awal prosesku mengenal kebijaksanaan agama dan kemesraan sebuah perjuangan. Seminar itu diadakan sabtu pagi sehingga aku harus pulang paling tidak jum’at sore. Kawanku yang memintaku menjadi moderator itu mengatakan bahwa dia harus membawa barang-barang

Mutiara di Dasar Hati

Dunia kampus akan terasa lebih gurih ketika di kasih bumbu organisasi. Entah organisasi apapun, kader atau professional. Organisasi kader maksudnya adalah organsiasi yang orientasi kerjanya memang kaderasisasi. Biasanya organisasi ini bermuatan idiologis atau pemahaman suatu kelompok tertentu. Organisasi professional beda lagi. Dia biasanya hanya berorientasi pada program kerja. Ukuran keberhasilan dua model organisasi itu pun berbeda. Kalau organisasi kader ukuran keberhasilannya ya seberapa banyak kader dan seberapa militant kader yang berhasil “diracuni” sehingga para kader tersebut mempunyai keberpihakan terhadap kelompok. Kalau ukuran keberhasilan organisasi professional ya apakah program kerja yang dirancang itu terlaksna atau tidak. Sejak awal masuk dunia kampus, sebenarnya aku telah melihat beberapa organsiasi yang nantinya aku masuki. Mulai dari organisasi jurusan sampai tingkatan Universitas aku jajaki, tentunya hanya sebatas meneropong dari kejauhan. Aku aktif dalam b

Normal dan Tak Normal

Kasih sayang, cinta, kekerasan, dominasi, adalah anak dari kebudayaan dan bukan sesuatu yang turun secara tiba-tiba dari langit. Model berfikir manusia yang beraneka macam telah menjadikan budaya menjadi amat dinamis hingga terkadang gradasi pergeseran budaya pun tidak kita mengerti dan tidak pula kita sadari. Inilah sebabnya harus ada sesuatu yang menjadi parameter untuk menilai apakah budaya tersebut adalah sesuatu yang ‘baik’ ataukah tidak. Kelompok masyarakat seperti halnya individu, ia mempunyai tindakan yang berulangkali dilakukan yang akhirnya menjadi kebiasaan kelompok. Kebiasaan jika itu terus menerus ada dalam komunitas maka itulah karakter kelompok. Karakter kelompok dalam satu potongan waktu sangatlah beragam apalagi karakter kelompok dalam potongan waktu yang berbeda. kelompok berkarakter ‘keras’ suatu saat bisa berubah menjadi kelompom berkarakter ‘cinta damai’. Semua bergantung pada proses dialektika yang terjadi dalam kelompok tersebut. Demikianlah dinamika social