Menyalakan Bara
Mandalakrida dibawah terik. Puasa begini, masih ada saja yang muda balapan sepeda motor. Deru mesin menyeruak lewat knalpot hingga 200 meter jauhnya. Berputar putar menguji kecepatan maksimal di tikungan, mengukur derajat kemiringan paling optimum. Warung pinggir jalan masih beberapa yang buka. Beberapa muda menyantap siomay. Matanya menyempit, agaknya bumbu kacang yang membalut gulungan daun kol cukup pedas. Tapi segelas es jeruk yang diliputi embun sepertinya telah membuat matanya kembali berbinar. Ih. Beruntunglah kalian, perempuan.
Toko buku, ditengah kota. Tidak seramai dulu. Mungkin ini gara gara ulah google atau whatpad dengan buku buku gratisnya. Ah, tidak. Menyalahkan keadaan adalah sama dengan mengumpat terbitnya fajar. Tidak berguna walaupun masih tetap banyak penggemarnya. Sia sia, walaupun masih ada yang mempraktikkannya. Tapi tidak mengapa, berbuat sia sia kadang juga berguna daripada perbuatannya menghalangi orang yang sedang berkarya.
Saya mencari Pram. Bung Pram. Bumi Manusianya, dulu, telah merubah struktur berfikir dengan sangat halus. Anak Semua Bangsa, dulu, pernah mengajari saya tentang prinsip hidup. Rumah Kaca yang saya cari. Tapi entah, tiba tiba, saya melirik The Raise of Majapahit dan Lelaki Penggenggam Hujan. Mungkin karena tiba tiba terngiang pelajaran guru Sejarah saya sewaktu SMA: Belajar sejarah adalah belajar nyala masa lalu.
Belakangan ini otak terasa sempit. Jangkauan ingatan serasa memendek dan nyala hidup meredup. Saat iseng membaca coretan harian, saya menemukan kalimat ini: Jika jangkauan ingatan menyempit dan nyala hidup meredup, membacalah!
Untuk sementara waktu, baris kode saya taruh dulu di brangkas mimpi. Daya pikir sedang butuh kalibrasi, butuh proses tunning hingga reaksi nalar dan rasa kembali bersinggungan. Memang butuh sedikit waktu. Jika dulu, saat di Surabaya, obatnya gampang. Jalan sebentar ke blok T, depan Teknik Elektro ITS, selesai urusan. Masuk rumah dengan daya 30%, keluar sudah 95% plus mencicipi lapis legit dan mangga Banyuwangi.
Terminal Giwangan. Ramai mudik belum kelihatan. Masih sama seperti pekan pekan biasa. Saya sudah hafal. Dua pekan sekali saya kemari. Mas Budi, agen tiket terminal, sudah hafal. Tinggal pesan via WA beres. Hubungan baik memang perlu dijaga, maka batas batas administratif bakal beres kemudian.
Senja makin dalam tenggelam. Purnama yang kemarin telah memudar. Terdengar lirih dan samar, suara tadarus di langgar dekat terminal. Aih, sepuluh malam terakhir sudah digelar. Barangkali gerbang laylatul qadar pun akan segera digelar. Sesekali Merapi tampak meletup menyalakan bara, seakan ia bertanya: dahulu Tuhan menitahkan tugas itu padaku, kami tak sanggup dan kalian berani. Lalu dimana nyalamu?
Terminal Giwangan Yogyakarta, 5 Juni 2018
Komentar
Posting Komentar