10 Alasan 100 Jalan 1000 Arah 1 Hati

(Bingkisan ringan buat kawan-kawan IMM MIPA/JPMIPA UAD belum lama ini)


Ketika Irvan Bachdim, pemain naturalisasi asal Belanda, ditanya kenapa ia bersedia membela Indonesia dalam pertandingan Sepak Bola bergengsi Asia Tenggara dia menjawab, “karena saya cinta Indonesia”. Atau kalau kita sempat bertanya kepada seluruh pemain mengenai alasan mereka membela Indonesia mungkin jawabannya akan serupa. Tapi pertanyaan yang cukup menggelitik dalam benakku adalah, Indonesia sebagai apa? Sebagai negarakah, atau sebagai bangsa? Ketika rombongan Kiai Kanjeng melakukan pertunjukan di Belanda dalam rangka misi ‘pengindahan’ citra Islam mereka bertemu dengan satu keluarga belanda yang ngefans dengan Didi Kempot, lagu-lagu campur sari dan juga pakaian batik. Sampai-sampai seorang Belanda itu mengatakan kalau ia mati dia ingin jasadnya dibungkus dengan kain batik. Ibu kandung Obama, presiden Amerika saat ini, juga mengatakan kalau ia sangat cinta Indonesia. Andai saja kita diberikan kesempatan oleh Allah berkeliling dunia dan bertanya kepada setiap orang soal Budaya Indonesia maka mungkin persentase ungkapan indah tentang Indonesia akan lebih besar. Aku kembali bertanya, Indonesia sebagai sebuah Negara ataukah sebagai sebuah Budaya?
Inilah Indonesia kita, bangsa yang telah merangkai titik-titik kesadaran dalam otak kita menjadi sebuah jalur yang menjadikan kita  memiliki budaya yang mengagumkan. Nanti kau akan tahu betapa mengagumkannya budaya kita lewat kisah perjalanan makna di Ikatan.

**

Kisahku dimulai dari sudut merah bertuliskan, “Menolak tunduk bangkit melawan atau mati demi Islam karena mundur adalah sebuah penghianatan”. Ini ungkapan yang sama sekali baru dalam hidupku. Penafsiran Islam yang sama sekali beda dengan yang biasa aku kenal selama ini. Ada semacam resonansi batin sehingga perlahan-lahan, dalam balutan perasaan ‘benci’ berkadar 50% dan rasa penasaran berkadar 50%, aku mulai mendekat pada Ikatan. Jadi aku sisipkan makna dari awal perjalananku bersama ikatan ini dalam bingkisan makna: Jika kau mencintai sesuatu dengan kadar 100% maka tinggalkanlah ia, karena pilihanmu jelas subyektif!
Sampai aku diberikan amanah untuk menjadi ketua Komisariat tahun 2005 pun aku belum 100% cinta kepada ikatan. Dan aku juga tidak mengerti mengapa Tuhan menggariskan sebuah organisasi yang memperjuangkan nilai-nilai Islam dibiarkan dipimpin oleh orang yang tidak punya loyalitas penuh. Aku kira ini sebuah kecelakaan sejarah bagi ikatan. Tapi tunggu, Tuhan rupanya akan mengajarkan sesuatu padaku.
Komposisi kepemimpinan pada masaku itu terbilang low power. Artinya, orang-orang yang menjadi pengurus di ikatan hanya orang-orang kelas bawah yang tidak punya pengalaman organisasi yang lumayan. Aku, mahasiswa semester 3 yang masih bau kencur menjadi ketua umum. Subekti, yang kata temanku ia seperti ‘kentongan’ (ndak bunyi kalau ndak di pukul) dan juga manusia pinggiran yang tidak banyak dikenal orang. Anna, mahasiswi asal pegunungan Dieng yang hanya terbiasa dengan tembakau dan kebun kentang. Fuad, manusia keriting bau produk gagal Pesantren Mualimin yang waktu itu ndak pernah mandi apalagi shalat. Dan cobalah kalian bandingkan dengan kader-kader Jamaah Ahmad Dahlan (JADDA) yang hampir semuanya mantan aktifis Rohis semasa SMAnya.
Tapi dalam dakwah tidak mengenal komposisi materi internal. Lihat sahabat-sahabat Nabi ketika memulai perjuangannya di Makah, Bilal dan kaum-kaum ‘proletar’ semacamnya kiranya cukup menjadi contoh betapa keberhasilan dakwah itu terletak pada semangat personal dalam menemukan kebenaran bukan semangat kelompok dalam menyuarakan kebenaran. Bandingkan dengan komposisi materi Quraiys Makah atau Imperium Raksasa Parsi yang dalam perhitungan angkatan perang memang jauh lebih unggul dan memiliki probabilitas kemenangan yang lebih besar tapi nyata-nyata kemegahan materi itu tidak mampu membendung keagungan jiwa masing-masing pribadi Muslim yang mencuat menjadi semangat yang luar biasa.
Aku tidak akan mengatakan kalau perjuangan kawan-kawan Ikatan itu memiliki iklim jiwa yang hamper sama dengan iklim jiwa yang dipunyai para sahabat waktu itu. Tapi aku ingin katakana kalau semangat jiwa yang dipunyai sebagian besar kawan-kawan ikatan adalah semangat ‘alfarisi’. Kenal kau dengannya? Seorang Parsi yang merantau hingga terdampar di Madinah demi pencarian sebuah kebenaran hakiki.
Pencarian kebenaran menjadi tekanan yang aku garis bawahi. Mengapa harus selalu mecari kebenaran bukan memperjuangkan kebenaran? Karena bangunan logika matematika yang membawaku pada pengertian ini. Bahwa absolutism itu harus tunggal. Satu. Dari satu muncul pengertian kebenaran tentang dua (1+1), tentang tiga (2+1), dan seterusnya. Maka kebenaran segala sesuatu itu merupakan turunan dari kebenaran absolute tersebut. Kebenaran yang turunan itu tidak mungkin mutlak sifatnya, dia pasti relative. Seyakin apapun kau terhadap kebenaran relative masih ada kemungkinan salah. Maka dalam kerelatifan perspektif manusia, ia hanya bisa mencari dan mencari kebenaran yang sejati. Ah, aku hanya berandai. Kalau tak faham lewatkan saja bagian ini, toh jika kau serius dalam arah kebenaran maka Tuhan akan menunjukkan jalan yang lebih bisa kau mengerti.
Aku kira ini ruh ikatan yang selama ini aku kenal. Maka dari ruh inilah kau akan menjumpai tampilan-tampilan kader ikatan yang ‘aneh-aneh’. Ada yang berjilbab agak lebar, ada yang jilbab gaul dengan celana jeans ketatnya, ada yang merokok, ada yang bercelana sobek-sobek, ada yang isbal, ada yang berjidat hitam, ada yang macam-macam! Sangat kompleks dan sangat plural. Struktur otaknya juga sangat kompleks, ada yang agak-agak ke kiri dikit, ada yang kiri banget, ada yang kanan mentok, ada yang tengah-tengah. Ada yang radikal marxsis, ada yang radikal wahabi, ada yang moderat abduh. Inilah yang aku maksud dengan belajar menjadi Indonesia dalam kisah perjalananku di ikatan. Bahkan bukan hanya belajar menjadi Indonesia tapi juga belajar menjadi manusia utuh. Maka jangan tanyakan kegemilangan ikatan sekarang, karena kegemilangannya adalah kegemilangan dalam dunia sunyi batinmu. Kegemilangan ikatan adalah kegemilangan tak nampak oleh pandangan materi dunia. Maka gemilang cahayanya akan tersimpan rapi dalam lubuk hati dan dimanapun kau dilepas oleh takdir maka berkas cahaya itu akan membimbingmu.

**

Setiap kader pasti akan bertemu pada suatu masa dimana ia harus berterimakasih pada Ikatan. Seperti layaknya sebuah individu yang berterimakasih pada kehidupan, seorang kader harus mampu bereproduksi. Bukan reproduksi tingkat paling rendah dalam makna biologis tapi reproduksi ide dan makna. Olahan jiwa kesadaran yang kita peroleh di ikatan harus dicampur dengan ilmu, apapun jenis ilmunya, hingga ia mampu menjadi sesuatu yang baru yang akan menjadi persembahan berharga bagi kehidupan. Maksudku dengan karya. Apapun karyanya, berapapun besar radius jangkauannya. Tanpa karya, kau hanya akan menjadi pengemis di ikatan. Jangan lakukan itu karena pasti kau akan menyesal di hari nanti jika memang kau adalah kader sejati.
Hanya butuh 10 alasan untuk menjadi seorang kader ikatan tapi jika pikiran dan hatimu sudah berada pada posisi yang cukup dekat dengan ikatan maka kau akan diberikan 100 jalan untuk merubah jalan pikiran. Dengan proses yang demikian maka ada 1000 arah tujuan yang bisa kau tempuh. Aku sadari betul akan hal ini. Walau aku hanya petani desa yang masuk dalam kategori rakyat jelata tapi aku merasa punya cakrawala untuk sekedar menilai keadaan. Ya, menilai keadaan dan menenetukan pilihan-pilihan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Anak Panah

Warongko anjing ning curigo, curigo manjing ning warongko

Pesonamu