Jejak-jejak 'Ajaran Tauhid' Soekarno di Muhammadiyah
“Tatkala ibumu masih perawan dan bapakmu masih jejaka, engkau berada dimana? Engkau berada di Kantongnya Tuhan. Suatu hari Tuhan berkehendak mengambil engkau dari kantongNya, ‘menggumelarkan’ engkau ke dunia. Tuhan membikin dapur bukan dari batu atau tanah tapi dari bapak dan ibumu untuk mengeluarkan engkau ke dunia. Dunia itu dinamai tanah air. Maka karena itu engkau harus berterimakasih kepada Tuhan”
Ungkapan diatas adalah ungkapan pak Suro kepada Soekarno kecil. Pak Suro sendiri sebenarnya hanyalah seorang pengasuh tua yang lebih sering bersama dengan Soekarno semasa kecilnya ketimbang dengan bapaknya sendiri yang seorang guru. Akan tetapi, walaupun hanya seorang pengasuh, ajaran-ajaran ‘filosofisnya’ yang secara tidak sengaja, sambil duduk-duduk dibawah pohon misalnnya, tertanam semasa Soekarno masih kecil. Ajaran-ajaran filosofis tersebut ternyata cukup mempengaruhi jalan pemikiran Soekarno kemudian. Bahkan Soekarno pernah menulis sebuah buku tentang wanita yang diberi judul “Sarinah” dan juga membuat toko serba ada yang juga diberi nama “Sarinah”. Sarinah bukanlah tokoh imajinasi, akan tetapi Sarinah yang diabadikan oleh Soekarno lewat guratan tintanya adalah mbok Sarinah, pengasuh Soekarno kecil, yang telah memberikan pelajaran kepada Soekarno tentang arti ‘mencintai rakyat’.
Pak Suro adalah guru filsafat yang membawa jalan pikiran Soekarno hingga menengok langit sedangkan mbok Sarinah adalah guru kemanusiaan yang mengajarkan bagaimana seharusnya kaki menginjak bumi. Dari pelajaran-pelajaran yang didapat melalui kedua pengasuhnya, Soekarno kemudian menyimpulkan tiga pilar cinta: Cinta kepada Tuhan, cinta kepada Ibu Bapak dan cinta kepada Tanah Air. Cinta kepada Tuhan karena manusia berasal dari ‘kantongNya’ Tuhan, cinta kepada Ibu Bapak karena manusia ‘dimasak’ di dapur buatannya Tuhan, dan cinta kepada Tanah Air karena Tuhan telah mengamanahkan tanah lahir yang meliputi segala manusia, segala sumber daya alam, dan segala budayanya sebagai tempat yang harus didayagunakan. Ajaran tersebut adalah ajaran yang melawan arus, sesungguhnya, karena pendapat sebagian tokoh Agama pada masa itu beranggapan bahwa cinta Tanah Air adalah perkara yang menyimpang dari tauhid.
Pokok-pokok mengenai kisah di atas telah disampaikan oleh Presiden Soekarno pada Muktamar Muhammadiyah ke-36 di Bandung pada tanggal 24 Juli 1965. Bahkan ketika meberikan pidato, Soekarno sempat meminta seorang anggota muktamirin dari Aisyiyah bernama ibu Zakiyah untuk duduk berdampingan dengan ibu Hartini Soekarno berderet dengan para pembesar Negara. Ibu Zakiyah adalah istri dari K.H Mas Mansyur, mantan ketua PP Muhammadiyah, yang sering kali menjadi partner diskusi Soekarno untuk masalah Agama dan Negara. Bahkan Soekarno jugalah yang telah membela pendirian K.H Mas Mansyur untuk persoalan cinta tanah air sebagai bagian yang menyatu dengan Islam. Dari kisah ini kita bisa melihat betapa dekatnya Soekarno dengan Muhammadiyah sampai-sampai wanita yang hanya berperan menyuguhkan secangkir kopi dan sepiring pisang goreng dirumah ketua Muhammadiyah pun dihargainya.
Kedekatan Soekarno dengan Muhammadiyah tidak hanya terjadi pada masa kepemimpinan K.H Mas Mansyur namun pada saat H.A Badawi memimpin Muhammadiyah pun Soekarno, sebagai Presiden, telah mengamanatkan kepada Muhammadiyah agar memberantas ilmu klenik setelah keduanya mengadakan pertemuan pada akhir tahun 1964. Menurut Soekarno ilmu klenik nyata-nyata menyalahi tauhid. Apalagi jika ilmu klenik itu dihubung-hubungkan dengan ajaran Islam maka ia tidak hanya menyalahi tauhid namun juga membelenggu jiwa dan akal pemeluk-pemeluknya yang pada akhirnya akan menghalangi kemajuan masyarakat.
Pada tanggal 3 Agustus 1965 Soekarno menerima gelar DHC (Doctor Honoris Causa) dalam Filsafat Ilmu Tauhid dari Universitas Muhammadiyah Jakarta. Pemberian gelar tersebut merupakan sebuah bukti bahwa pemikiran tegas Soekarno mengenai ke-Esaan Tuhan dan segala manifestasinya dalam kehidupan bermasyarakat sejalan dengan langkah perjuangan Muhammadiyah. Dalam sambutannya Soekarno mengatakan bahwa sifat Tuhan yang Esa itulah yang ditekankan dalam UUD Republik Indonesia. Oleh karena itu jika kita menengok kembali UUD 45 kita akan menemukan konsepsi tentang anak yatim dan terlantar yang harus dipelihara oleh Negara dan juga seluruh kekayaan alam Indonesia yang harus didayagunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan masyarakat. Ini adalah wujud dari kesadaran sepenuhnya bahwa manusia memiliki posisi yang sama dihadapan Tuhan.
Sebuah bangsa yang menyimpang dari ajaran tauhid maka ia akan terjerembab dalam kubangan pertikaian, perselisihan dan peperangan. Dalam artikel berjudul “Der Untergang Des Abenlandes (Jatuhnya Negeri Eropa)” yang dimuat di SM No 2 dan 3 tahun 1965 Soekarno dengan tegas mengatakan bahwa Eropa, pada waktu itu, jelas-jelas menyimpang dari petunjuk Isa yang sebenarnya yakni konsep tauhid. Oleh karena itu masyarakat yang terbentuk di Eropa adalah masyarakat materialisme. Mereka tidak henti-hentinya digoda oleh peperangan-peperangan demi urusan perdagangan, industri dan keuangan-keuangan lainnya. Soekarno tidak hanya mengkritik secara tegas konsepsi tauhid bangsa Eropa yang berdampak pada arah peradaban mereka namun ia juga mengkritik secara tajam negeri Islam bahwa nasib Negara Islam pun tidak akan jauh berbeda dengan bangsa Eropa, terjerembab dalam lumpur peperangan, jika mereka memakai sendi-sendi materialisme.
Betapapun luka sejarah pada 1965 telah memotong urat perjuangan Soekarno dalam mewujudkan pendirannya, kita masih bisa mengambil nyala api dari buah ijtihadnya. Bahwa ajaran ke-Esaan Tuhan dan kesatuan kemanusian adalah dasar untuk mengeluarkan manusia dari peperangan dan pertikaian. Bahwa sebuah bangsa harus hidup berdikari tanpa berada dibawah tindasan Negara manapun karena semua manusia memiliki kedudukan sama dihadapan Tuhan. Bahwa penghambaan manusia sepenuhnya kepada Tuhan justru akan menjadikannya sebagai manusia yang merdeka seutuhnya.
Ungkapan diatas adalah ungkapan pak Suro kepada Soekarno kecil. Pak Suro sendiri sebenarnya hanyalah seorang pengasuh tua yang lebih sering bersama dengan Soekarno semasa kecilnya ketimbang dengan bapaknya sendiri yang seorang guru. Akan tetapi, walaupun hanya seorang pengasuh, ajaran-ajaran ‘filosofisnya’ yang secara tidak sengaja, sambil duduk-duduk dibawah pohon misalnnya, tertanam semasa Soekarno masih kecil. Ajaran-ajaran filosofis tersebut ternyata cukup mempengaruhi jalan pemikiran Soekarno kemudian. Bahkan Soekarno pernah menulis sebuah buku tentang wanita yang diberi judul “Sarinah” dan juga membuat toko serba ada yang juga diberi nama “Sarinah”. Sarinah bukanlah tokoh imajinasi, akan tetapi Sarinah yang diabadikan oleh Soekarno lewat guratan tintanya adalah mbok Sarinah, pengasuh Soekarno kecil, yang telah memberikan pelajaran kepada Soekarno tentang arti ‘mencintai rakyat’.
Pak Suro adalah guru filsafat yang membawa jalan pikiran Soekarno hingga menengok langit sedangkan mbok Sarinah adalah guru kemanusiaan yang mengajarkan bagaimana seharusnya kaki menginjak bumi. Dari pelajaran-pelajaran yang didapat melalui kedua pengasuhnya, Soekarno kemudian menyimpulkan tiga pilar cinta: Cinta kepada Tuhan, cinta kepada Ibu Bapak dan cinta kepada Tanah Air. Cinta kepada Tuhan karena manusia berasal dari ‘kantongNya’ Tuhan, cinta kepada Ibu Bapak karena manusia ‘dimasak’ di dapur buatannya Tuhan, dan cinta kepada Tanah Air karena Tuhan telah mengamanahkan tanah lahir yang meliputi segala manusia, segala sumber daya alam, dan segala budayanya sebagai tempat yang harus didayagunakan. Ajaran tersebut adalah ajaran yang melawan arus, sesungguhnya, karena pendapat sebagian tokoh Agama pada masa itu beranggapan bahwa cinta Tanah Air adalah perkara yang menyimpang dari tauhid.
Pokok-pokok mengenai kisah di atas telah disampaikan oleh Presiden Soekarno pada Muktamar Muhammadiyah ke-36 di Bandung pada tanggal 24 Juli 1965. Bahkan ketika meberikan pidato, Soekarno sempat meminta seorang anggota muktamirin dari Aisyiyah bernama ibu Zakiyah untuk duduk berdampingan dengan ibu Hartini Soekarno berderet dengan para pembesar Negara. Ibu Zakiyah adalah istri dari K.H Mas Mansyur, mantan ketua PP Muhammadiyah, yang sering kali menjadi partner diskusi Soekarno untuk masalah Agama dan Negara. Bahkan Soekarno jugalah yang telah membela pendirian K.H Mas Mansyur untuk persoalan cinta tanah air sebagai bagian yang menyatu dengan Islam. Dari kisah ini kita bisa melihat betapa dekatnya Soekarno dengan Muhammadiyah sampai-sampai wanita yang hanya berperan menyuguhkan secangkir kopi dan sepiring pisang goreng dirumah ketua Muhammadiyah pun dihargainya.
Kedekatan Soekarno dengan Muhammadiyah tidak hanya terjadi pada masa kepemimpinan K.H Mas Mansyur namun pada saat H.A Badawi memimpin Muhammadiyah pun Soekarno, sebagai Presiden, telah mengamanatkan kepada Muhammadiyah agar memberantas ilmu klenik setelah keduanya mengadakan pertemuan pada akhir tahun 1964. Menurut Soekarno ilmu klenik nyata-nyata menyalahi tauhid. Apalagi jika ilmu klenik itu dihubung-hubungkan dengan ajaran Islam maka ia tidak hanya menyalahi tauhid namun juga membelenggu jiwa dan akal pemeluk-pemeluknya yang pada akhirnya akan menghalangi kemajuan masyarakat.
Pada tanggal 3 Agustus 1965 Soekarno menerima gelar DHC (Doctor Honoris Causa) dalam Filsafat Ilmu Tauhid dari Universitas Muhammadiyah Jakarta. Pemberian gelar tersebut merupakan sebuah bukti bahwa pemikiran tegas Soekarno mengenai ke-Esaan Tuhan dan segala manifestasinya dalam kehidupan bermasyarakat sejalan dengan langkah perjuangan Muhammadiyah. Dalam sambutannya Soekarno mengatakan bahwa sifat Tuhan yang Esa itulah yang ditekankan dalam UUD Republik Indonesia. Oleh karena itu jika kita menengok kembali UUD 45 kita akan menemukan konsepsi tentang anak yatim dan terlantar yang harus dipelihara oleh Negara dan juga seluruh kekayaan alam Indonesia yang harus didayagunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan masyarakat. Ini adalah wujud dari kesadaran sepenuhnya bahwa manusia memiliki posisi yang sama dihadapan Tuhan.
Sebuah bangsa yang menyimpang dari ajaran tauhid maka ia akan terjerembab dalam kubangan pertikaian, perselisihan dan peperangan. Dalam artikel berjudul “Der Untergang Des Abenlandes (Jatuhnya Negeri Eropa)” yang dimuat di SM No 2 dan 3 tahun 1965 Soekarno dengan tegas mengatakan bahwa Eropa, pada waktu itu, jelas-jelas menyimpang dari petunjuk Isa yang sebenarnya yakni konsep tauhid. Oleh karena itu masyarakat yang terbentuk di Eropa adalah masyarakat materialisme. Mereka tidak henti-hentinya digoda oleh peperangan-peperangan demi urusan perdagangan, industri dan keuangan-keuangan lainnya. Soekarno tidak hanya mengkritik secara tegas konsepsi tauhid bangsa Eropa yang berdampak pada arah peradaban mereka namun ia juga mengkritik secara tajam negeri Islam bahwa nasib Negara Islam pun tidak akan jauh berbeda dengan bangsa Eropa, terjerembab dalam lumpur peperangan, jika mereka memakai sendi-sendi materialisme.
Betapapun luka sejarah pada 1965 telah memotong urat perjuangan Soekarno dalam mewujudkan pendirannya, kita masih bisa mengambil nyala api dari buah ijtihadnya. Bahwa ajaran ke-Esaan Tuhan dan kesatuan kemanusian adalah dasar untuk mengeluarkan manusia dari peperangan dan pertikaian. Bahwa sebuah bangsa harus hidup berdikari tanpa berada dibawah tindasan Negara manapun karena semua manusia memiliki kedudukan sama dihadapan Tuhan. Bahwa penghambaan manusia sepenuhnya kepada Tuhan justru akan menjadikannya sebagai manusia yang merdeka seutuhnya.
Komentar
Posting Komentar