Uwak Duljadi Bersastra
Karena
begitu menggebu uwak Duljani mengajak orang-orang untuk kerja bakti membangun
madrasah, ia berteriak kepada orang-orang "Janganlah kalian makan sebelum
tembok madrasah ini berdiri..!". Kalimat itu tentu bukan satu-satunya
kalimat yang dilontarkan uwak kepada orang-orang. Sebelumnya ia sudah bicara
panjang lebar yang semuanya bernada profokatif agar orang-orang tidak loyo
dalam kerja bakti membangun madrasah. Rupanya omongan uwak ini cukup didengar,
barangkali karena retorika uwak yang mirip bung Karno. Orang-orang pun menjadi
semangat bekerja hingga lewat waktu makan siang. Uwak sendiri heran, mengapa
mereka belum juga berhenti untuk makan siang? Padahal perut uwak sudah tidak
bisa dikompromokan lagi. Karena sudah sangat lelah dan letih, juga lapar, uwak
berhenti kerja dan makan. Orang-orang langsung meradang! "Bagaimana kau
ini, uwak! tadi ngomong jangan makan sebelum tembok madrasah ini berdiri. Sekarang,
pondasi saja belum rampung kok malah sudah makan!". Uwak malah tertawa
'mekekelan'. "Oalah paijo…! Tadi saya ngomong itu cuma biar kalian
semangat kerja, tidak loyo seperti tadi. Itu retorika bergaya sastra. Kalau
saya ngomong begitu bukan berarti begitu. Ya jelas mustahil bisa berdiri
sekarang, lha pondasi saja belum rampung digali? Itu gaya sastra dab! Jadi
tolong pahami apa yang tersirat bukan yang tersurat! Lha kalau apa-apa harus
pakai kata-kata apa adanya, bisa repot dong kalau anak-anak kita minta ijin
kencing sama gurunya. Apalagi kalau sampean minta anu sama istrimu! Kau butuh
kiasan, pengandaian, agar suasana menjadi lebih memunculkan pesona keindahan
dan kehangatan…".
Kanjeng
Nabi adalah orang yang sangat pandai membesarkan hati orang, bahkan terhadap
orang yang memusuhinya. Kepada Abu Bakar beliau pernah ngendika, “Andai
saja boleh mengambil kekasih selain Allah maka aku sudah mengambil Abu Bakar
sebagai kekasihku..”. Siapa yang tidak tunduk luluh dengan kata-kata semacam
itu apalagi keluar dari ucapan kanjeng Nabi. Kepada Ali yang ngotot ikut ke
Tabuk padahal ia ditugaskan menjadi wakil beliau di Madinah beliau mengatakan,
“Apa kau tidak ridho jika kau disisiku seperti kedudukan Harun disisi Musa?
Hanya saja tidak ada nabi sesudahku..”. lagi-lagi Nabi mengunci mati hati
sahabatnya hingga para sahabat bisa tunduk patuh kepada apapun perintah beliau.
Apakah Ali benar-benar berposisi sebagai partner beliau dalam dakwah? Iya, tapi
bukan Ali satu-satunya. Ada Umar yang pernah dikunci hatinya dengan ucapan,
“Andai saja ada nabi setelahku maka ia adalah Umar..”. Nah, rumus dari kanjeng
nabi ini dipakai oleh uwak Duljani sehingga istrinya semakin setia kepadanya.
Ia katakan, “Seandainya kebutuhan bisa terpenuhi tanpa aku harus bekerja setiap
hari maka aku akan selalu disisimu setiap waktu…”. Atau ketika ia pulang tidak
mbawa uang dan melihat istrinya agak cemberut ia katakan, “Andai saja masih
tegak perkasa badan ini maka akan aku hadiahkan perhiasan indah untukmu…”.
Pada
saat hendak menaklukkan kekuatan penghianat Yahudi di Madinah yaitu bani
Quraizhah, nabi pernah mengatakan begini, "Barang siapa yang tunduk patuh,
maka janganlah sekali-kali mendirikan shalat ashar kecuali di Bani Quraizhah..!".
Ada beberapa sahabat yang memaknai ucapan nabi itu secara apa adanya hingga
mereka shalat ashar diwaktu isya karena memang perjalanan dari madinah ke
tempat dimana kabilah Yahudi itu tinggal ditempuh dalam waktu antara dzuhur
sampai isya dan mustahil jika waktu ashar sudah tiba di bani Quraizhah. Bagi
sahabat yang punya sedikit jiwa sastra dalam dirinya, lebih pintar memaknai
kalau sesungguhnya nabi berucap begitu untuk memompa semangat hingga mereka
bersegera untuk berangkat perang.
Dalam
Qur'an surat an Nisa’ yang terkenal dengan ayat poligami, Al Qur’an berbicara
tentang kewajiban memberikan harta milik anak yatim khususnya yatim perempuan
jika sudah baligh. “Tapi jika kau khawatir tidak bisa memberikan hak itu
kepadanya apabila kau menikahinya, tidak usahlah kau nikahi anak yatim itu!
Sana, nikahi saja wanita lain; satu, dua, tiga, empat atau sesukamu jika kau
memang bisa berbuat adil. Jika tidak, ya sudahlah..satu saja cukup kan?”. Itu
tafsir ngawuriahnya uwak Duljani untuk An Nisa’ ayat 3. Gaya sastra Tuhan dalam
ayat itu rupanya dipakai juga oleh uwak Duljani ketika melihat anak-anaknya
berebut makanan, “Kalau kowe ngrasa ndak kenyang, sana! Habisin semua satu
panci! Kalau perlu sekalian nasi satu cething!”. Uwak Dul tentu tidak bermaksud
dengan sungguh-sugguh, itu hanya gaya bicara untuk anaknya yang bandel ndak
ketulungan. “Sudah dikasih telur kok masih minta tempe adikmu..!”, lanjut uwak
Dul kemudian.
Komentar
Posting Komentar