Dari Jogja Hingga Jogja
Tiba-tiba ada
energi yang mengajakku untuk kembali melihat kampung kelahiran. Seorang kawan
mengatakan kepadaku bahwa aku diminta untuk menjadi moderator dalam acara
seminar pendidikan. Aku berfikir sejenak. Pertimbanganku yang pertama adalah
bahwa aku harus bolos kuliah lagi. Yang kedua, baru saja seminggu lalu aku pulang
ke rumah. Ketiga, ongkos yang harus aku keluarkan untuk transportasi tidaklah
sedikit. Kalau ongkos itu digunakan untuk hidup di jogja mungkin cukuplah kalau
sekedar makan satu minggu. Tapi ada energi yang mendorongku untuk meng-iyakan
tawaran kawanku itu. Seminar itu adalah dalam rangka Musyawarah Daerah IRM,
organisasi yang menghantarkan aku pada sebuah proses yang amat berpengaruh
dalam kehidupanku. IRM adalah awal prosesku mengenal kebijaksanaan agama dan
kemesraan sebuah perjuangan.
Seminar itu diadakan
sabtu pagi sehingga aku harus pulang paling tidak jum’at sore. Kawanku yang
memintaku menjadi moderator itu mengatakan bahwa dia harus membawa
barang-barang keperluan seminar tepatnya satu kardus block note. Ah, aku
kasihan melihat seorang wanita membawa barang seberat itu dan nantinya harus
berganti-ganti bis. Aku memutuskan untuk membawakan satu kardus block note itu.
Selesai kuliah kira-kira jam tiga padahal aku harus mengambil barang itu ke
UMY. Cukup jauh dari kampusku. Akhirnya jam empat aku baru bisa naik bis
jurusan jogja semarang dan turun di Magelang. Aku tidak bisa merasa nyaman
karena aku sudah terlanjur meng-iyakan untuk mengisi kajian kira-kira jam tujuh
malam nanti. Aku hitung-hitung waktu perjalanan. Ternyata mustahil untuk sampai
lokasi jam tujuh malam. Paling tidak pukul sembilan baru saja sampai. Aku kasih
tahu saja kondisi apa adanya kepada kawanku itu pasti dia akan mengerti. Jika
dia tidak juga mengerti maka sebenarnya dia bukanlah kawanku dan aku tidak
perlu merasa bersalah.
Perjalanan sore hari yang tidak
terlampau panas. Aku tidak memikirkan sesuatu kecuali sekedar melihat apa yang
ada disekitarku kemudian sedikit menggumam mengomentari hal itu. Pengamen,
wajah kusut para penumpang, kendaraan yang lalu-lalang, asap rokok yang membuat
udara pengak, dan teriakan-teriakan kodektur bis. Pemandangan yang biasa
didalam bis rakyat.
Aku benar-benar hanya diam. Dalam
diamku rupanya ada pesan yang masuk dalam HPku. Aku buka, barangkali bisa
membuat suasana menjadi lebih hidup. Aku kaget karena tidak biasanya temanku
ini mengirimkan sms lebih dulu. Biasanya dia sms saat aku kirimi pesan terlebih
dahulu dan itu adalah hal yang penting. Jika aku hanya ‘nggombal’ biasanya
tidak akan dibalas. Perasaanku lebih tidak percaya lagi ketika aku membaca isi
dari pesan itu. Oh Tuhan, inilah kata-kata yang pada saat lebaran dulu aku
tunggu. Kenapa baru sekarang dia katakan kepadaku? Ah, rasaku tidak karuan.
Benar, suasana dalam bis menjadi hidup hanya dengan satu pesan itu. Aku bingung
karena aku harus pertimbangkan secara matang. Aku tidak boleh melakukan
kesalahan. Tapi aku tidak bisa berbohong pada nuraniku bahwa aku harus
mengatakan, ya. Oh Tuhan, aku baru saja keluar dari persoalan yang amat berat
menimpaku. Hanya baru hitungan hari masalah itu pergi dari kehidupanku. Aku
tidak mau lagi berbohong pada nuraniku maka aku berikan sedikit pengertian pada
temanku itu. Tapi entah, aku merasakan kebahagiaan besar. Aku merasa diliputi
energi yang seketika itu membuat suasana batinku menjadi lain. Tidak terasa
bibirku melengkung dan aku tersenyum.
Panorama senja tidak nampak. Tapi
titik-titik hitam rupanya mulai memenuhi pandanganku. Surau-surau masjid mulai
mengalun bersahutan. Bangku Terminal kota Magelang nampak lengang karena para
penumpang memilih untuk menunggu bis dipinggir jalan. Akupun mengikuti mereka,
menunggu bis jurusan Magelang-Wonosobo di pinggir jalan. Ah, rupanya tak ada
lagi bis yang aku tunggu itu. Aku harus mensiasati keadaan ini karena aku harus
sampai di Banjarnegara malam ini juga. Aku naik bis yang sampai ke Secang untuk
kemudian aku naik bis Semarang Purwokerto dan aku bisa turun di banjarnegara.
Tidak lama aku mendapatkan bis yang aku tunggu. Alam mulai remang karena senja
akan segera berganti malam. Dalam keremangan itu pula aku didalam bis dan
sedikit berfikir tentang temanku itu. Perbincangan maya pun kembali terjadi.
Ah, aku tidak lagi berfikir tentang kondisiku saat ini. Aku sama sekali tidak
hawatir kalau-kalau aku tidak mendapatkan bis sampai ke Banjarnegara. Tapi aku
yakin kalau nanti aku akan sampai juga. Entah, apa yang membuat perasaan yakin
itu?
Aku turun di pertigaan Secang, titik
pertemuan tiga kota besar Semarang, Purwokerto, dan Jogja. Tidak berselang lama
bis dari Semarang tiba tapi penuh dengan penumpang. Sangat penuh hingga
berjejalan. Oh tidak, dengan bawaanku yang banyak itu aku tidak bisa mendesak
masuk. Tidak lama ada bis kecil yang yang juga menuju Wonosobo. Orang yang saat
menunggu bis tadi menjadi teman bicaraku
menyeretku masuk ke bis yang datang belakangan itu. Ah, rupanya
sama-sama sesak tapi tidak mengapa yang penting aku sudah berada dalam bis dan
barang bawaan juga aman walaupun tidak kebagian tempat duduk. Aku menghibur
diri dengan melanjutkan perbincangan dengan orang tadi. Dia sedikit bercerita
tentang pengalaman hidupnya. Dia menanyakan berapa umurku. Aku jawab saja apa
adanya. Dia bilang, “ Mas, saya itu sudah merantau sejak kira-kira umur SMP.
Dulu awalnya menjadi buruh bangunan di Jakarta dan akhirnya saya menjadi
kontraktor bangunan kecil-kecilan. Ya, sekedar kontraktor rumah kecil-kecilan.”
Sekarang msih jadi kontraktor mas? “ Sekarang saya nyupir mobil sewaan.
Biasanya setor komputer ke daerah Sumatera.” Panjang perbincangan kami sampai kami
menemukan satu orang lagi untuk meramaikan obrolan kami. Aku sebenarnya tidak
terlalu suka ngobrol di bis. Tapi aku melihat orang itu sungguh luar biasa.
Tiap ada orang disampingnya pasti ditanya walau sekedar, “Turun di mana?”. Aku
berfikir sejenak. Oh rupanaya ini kuncinya. Aku mendapatkan banyak pengalaman
dari perbuincangan dengan orang disampingku.
Sampai di Kretek, kotakecil sebelum
tiba di Wonosobo, orang yang pandai sekali berkomunikasi dengan orang lain itu turun.
Tadinya dia menawarkan kepadaku kalau-kalau aku kemalaman di Wonosobo supaya nginap
saja di tempatnya. Luar biasa, baru kenal langsung main ajak saja dan
menawarkan jasa. Aku melanjutkan perbincangan dengan orang yang tadi di ajak
bicara orang yang turun di Kretek tadi. Ternyata dia adalah seorang pembuat
pupuk organik. Dia berceria kalau produk pupuk organiknya itu sudah dijual
kemana-mana. Pada awalnya dia bekerja pada seorang kenalannya yang seorang
profesor. Produk yang dia buat itu rencananya akan mendapatkan licenci dari
perusahaan pupuk yang besar, katanya perusahaan Amerika. Dia ditawari gaji yang
sangat besar tapi sistem kontrak. Artinya dia hanya bekerja untuk perusahaan
itu dalam jangka beberapa tahun saja. Tapi dia bilang kalau di menolak tawaran
itu. Aku kaget dan segera saja aku tanyakan, “Kenapa ngga’ diterima mas?” Kalau
aku tarima tawaran itu sama saja aku menjual penemuanku dengan harga yang
Sangat murah. Keuntunganku dibanding keuntungan perusahaan itu sangat jauh. setelah
mereka berhasil mengetahui penemuanku pasti mereka akan membuangku.”. Aku
mendapatkan hal yang luar biasa. Dia ternyata tidak kuliah dan ketika aku tanya
kenapa mas bisa seperti itu di katakan, “ Kuncinya baca mas. Mataku sampai
rusak seperti ini karena terlalu banyak membaca. Sekarang kuliah tidak menjamin
mas, yang penting kemampuan. Saya tidak mengerti kimia tapi saya bisa membuat
pupuk organik dengan bahan-bahan yang mungkin orang memandangnya tidak berguna.
Pupuk saya hanya dari rumput atau tanaman-tanaman yang tak berguna lainnya. Ya,
paling dibeli dengan beberapa rupiah saja para petani sudah cukup bahagia.”.
Sampai di tempat penantian bis di
Kota Wonosobo aku turun dan berpisah dengan pembuat pupuk organik tadi. Aku
duduk di trotoar jalan. Aku kembali teringat pesan temanku tadi yang belum aku
jawab. Sungguh aku terkagum dengan keberanian temanku itu mengungkapkan dengan
jujur kondisi dirinya yang barangkali tidak semua orang bisa menerimanya. Aku
tidak menjawab panjang. Hanya menuliskan kata-kata yang aku kira mempunyi makna
yang sangat luas. Semoga dia mengerti apa maksud dan konsekuensi dari kata itu.
Ternyata bis Semarang Purwokerto
yang tadi urung aku naiki baru saja tiba di Wonosobo. Aku langsung naik dan
menempatkan diri pada posisi yang nyaman. Dalam bis aku kembali berfikir
taentang temanku itu. Ah, rupanya sudah hampir setahun saat aku mengungkapkan
rasaku kepadanya. Banyak hal yang aku alami antara waktu itu dan sekarang. Itu adalah
kisah yang bukan biasa-biasa saja. Sudahlah, perasanku yang tidak karuan selama
dua bulan belakangan ini semoga bisa terobati dengan kehadirannya.
Bis melaju, entah pelan ataukah
kencang. Aku tidak begitu merasakannya.tapi yang pasti bis itu sudah masuk kota
Banjarnegara dan sebentar lagi aku harus segera turun. Bis itu berhenti tepat
didepan SMA Muhammadiyah Banjarnegara, tempat kawan-kawan IRM menungguku.
Langsung saja aku telpon kawanku dan dia mengatakan agar aku langsung ke masjid
Sekolahan karena kawan-kawan sudah ada disana. Aku masuk dan ternyata benar,
mereka sudah berkumpul dan akan segera ada materi kajian.
Aku langsung ke Masjid karena aku belum
memenuhi kebutuhanku untuk shalat Maghrib dan Isya. Aku jamak shalatku dan kemudian
sedikit berbincang dengan teman-teman sambil makan sebungkus nasi berlauk
telor. Selesai berbincang, muncul kembali dalam ingatanku tentang temanku yang masih
di jogja itu. Muncul ide untuk menelpon dia. Sebenarnya tidak enak karena waktu
sudah terlalu malam untuk menelpon seorang wanita. Tapi sudahlah, aku akan
tetap menelpon dia. Aku telpon dia. Aku sampakan bahwa aku menginginkan dia
untuk berbincang dengan seorang sahabatku yang juga di jogja untuk menjelaskan
kondisiku. Dan barangkali dengan perbincangan itu dia akan mendapatkan jawaban
atas pertanyaan yang belum terjawab. Aku merasa begitu senang karena dia
mengerti. Ya, aku hampir tidak pernah berkomunikasi dengannya tapi aku
merasakan bahwa dia adalah wanita yang sangat pengertian.
Aku kembali ke Masjid dan rupanya
tak ada lagi orang didalam masjid karena semua mengikuti sesi materi Mabit. Aku
hanya sedikit merenung tentang apa-apa yang telah dia katakan kepadaku. Mungkin
Allah memberikan jawaban itu. Aku mendapatkan sebuah makna bahwa sebenarnya ada
dua keniscayaan dalam hidup ini. Pertama, keniscayaan yang ada karena kehendak
alam. Dalam artian kita sama sekali tidak menghendaki hal itu terjadi dalam
diri kita. Seperti aku yang terlahir sebagai orang Jawa, aku yang dilahirkan
dalam keluarga pas-pasan, aku yang mempunyai paras muka yang semacam ini, dan
lain sebagainya yang itu ada bukan karena kehendak kita. Keniscayaan semacam
ini ternyata sama sekali tidak bisa kita gunakan untuk menentukan kekurangan
atau kelebihan seseorang. Keniscayaan yang kedua adalah sesuatu yang ada karena
pilihan kita. Seperti kita akan menjadi orang baik atau jahat, kita menjadi
pintar atau bodoh, dan pilihan hidup lainnya. Inilah yang bisa menjadi
parameter tentang kelebihan atau kekurangan seseorang.
Rahasia yang dia katakan kepadaku
itu aku kira bukan keniscayaan atas pilihannya. Itu sudah kehendak alam dan
tidak patut aku menganggapnya sebagai sebuah kekurangan. Jika aku mengatakan
itu adalah sebuah kekurangan maka sama saja aku menganggap bahwa Tuhan adalah
Dzat Yang Maha berkekurangan, mustahil. Yang menjadi parameter tentang kelebihan
atau kekurangan sebenarnya adalah makna dari keniscayaan yang ada pada diri
manusia. Karena kesejatian ada dalam makna.
Bersambung….
Aku memang sendiri, duduk termenung
dan sesekali membuka buku dan makalah-makalah yang aku bawa dari Jogja. Rupanya
malam sudah mulai condong ke pagi. Muslimin, kawan yang aku kenal sejak SMA,
mengajakku jalan-jalan ke alun-alun kota. Segera saja aku mengikuti langkahnya
melintasi jalanan sepi kota Banjarnegara. Ya, benar-benar sepi. Aku tak
merasakan dingin sementara udara sebenarnya dingin.
Lampu-lampu jalanan nampak tidak begitu terang. Remang.
Aku berbincang mesra dengan Muslimin karena sudah agak lama bahkan hampir satu
tahun kami tidak berjumpa. Perbincangan yang sederhana tentang bagaimana kami
menjalani hidup. Aku bertanya tentang kerjaannya. “Aku sudah tidak kerja di
Yayasan itu, ah adanya cuma rugi.” Lho, kenapa rugi, bukannya dapat gaji?
“Yayasan itu ternyata punya masalah keuangan yang parah jadi sekarang ya gulung
tikar”. Nah sekarang kerja dimana? “Aku jadi tukang nagih
rekening listrik”. Oh, bagus lah.
Jadi kamu ke rumah-rumah nagih bayaran listrik? “Iya, tapi cuma yang melebihi
batas waktu pembayaran tapi mereka belum bayar. Ya ada yang belum bayar karena benar-benar
tidak ada uang dan ada juga yang belum bayar karena malas datang ke tempat
pembayaran. Kalau telat bayar kan di tagih dirumah. Kalau bayar ke
tempat pembayaran harus bayar ongkos angkot Rp. 4.000, dan denda dari
keterlambatan bayar Cuma Rp. 2.000. jadi ya mendingan telat bayar, justru mereka
untung Rp. 2.000,-. Ya, begitulah orang Indonesia. Kalau kamu gimana? Kapan
lulusnya?”. Ah kamu, jangan tanya lulus dulu lah. “O iya deh, bagaimana rencana
kamu nanti setelah lulus?”. Ya, yang sudah jelas-jelas dulu. Sebelum kuliah aku
itu seorang petani jadi ya yang nampak jelas saja. Mau mengharap jadi pegawai?
Wah, berapa banyak sarjana di kota ini? “Maksud kamu?”. Ya, yang jelas saja.
Kalau sebelum jadi mahasiswa sudah jadi petani setelah lulus nanti ya jadi
petani saja dulu. Artinya biar tidak dapat predikat pengangguran. Tapi memang
benar lho. Kalau ngajar di sekolahan itu sudah melulu karena gaji maka
ngajarnya pasti tidak akan maksimal. Anak-anak tidak bakalan jadi baik! Tapi
kalau kita bisa dapat penghasilan bukan dari ngajar maka ngajar akan menjadi
aktifitas pengabdian. Kemungkinan besar akan maksimal untuk membuat
siswa menjadi manusia baik-baik. Ya itu sih idealnya. Tapi kalau nanti terpaksa
dapat duit dari ngajar ya tinggal bagaimana meluruskan niat. Ya, yang namanya
rejeki. Sing ngatur Sing Kuasa, sing ngentekke menungsa.
Pohon besar di alun-alun kota itu masih
ada. Penjaja makanan tinggal beberapa saja. Paling tinggal warung yang
menyediakan kopi atau makanan khas malam lainnya. Tidak ada angkringan, tak
seperti di Jogja. Tidak ada warung burjo yang buka 24 jam. Aku dan Muslimin
langsung menuju kantor PDM yang berada tepat disamping masjid besar. Ternyata
kawan-kwan lain sudah disana menyelesaikan LPJ yang belum beres. Tapi aku hanya
duduk di ruang tamu dan bergabung dengan perbincangan seniorku. Perbincangan
seputar bagaimana untuk bertahan hidup detengah alam yang memaksa kita untuk
menjadi kaya.
Waktu mulai mendekat kepada pagi. Dan mata ini sungguh lelah. Aku
terlelap di kursi tamu dengan posisi duduk. Ah, tidurku tak terasa nyaman.
Sebentar-sebentar aku terbangun tapi hanya memperbaiki posisi tulang dan
kemudian kembali terlelap. Lantunan adzan shubuh itu membangunkanku. Suara
adzan yang terdengar penuh kepasrahan. Lantunan yang pelan tapi terdengar
hingga ke sela-sela alam. Aku lihat sekitar, tak ada seorangpun. Barangkali
mereka masih di lantai atas karena kurasa tadi malam kereka benar-benar bekerja
keras merampungkan pekerjaan mereka. Muslimin masih di depan komputer, membaca
buku entah apa. Aku ajak dia ke Masjid dan Muslimin membangunkan kawan-kawan
yang masih terkapar di lantai. Bahkan ada yang terkapar tanpa hijab antara
keramik lantai dan tubuhnya.
Nuansa pagi di alun-alun kota itu
sangat khas. Dulu saat aku dan kawan-kawan kampungku mengikuti pengkaderan di
Kota biasanya membeli kue serabi di pojok alun-alun. Tapi kini aku tidak
melihat ibu tua itu berjualan disana. Kemana beliau?
Orang-orang membugarkan badan dengan
jalan santai mengitari alun-alun atau sedikit berlari. Pohon beringin yang
mengitari alun-alun sungguh rindang. Apalagi pohon terbesar ditengah alun-alun,
membuat suasana menjadi lebih teduh dan seringkali memang memberikan keteduhan
saat terik matahari sedang ganas-ganasnya.
Seminar akan dimulai pukul delapan
pagi. Berarti seperempat jam lagi dan aku Belem mempertampan diri. Aku masih di
kantor PDM. Kamar mandi di sana Cuma ada satu dan sedang di pakai oleh kawanku
yang nantinya akan menjadi pembicara dalam seminar. Ah, aku harus ambil
tindakan agar aku tidak terlambat di seminar nanti. Tanpa pertimbangan panjang
aku menuju masjid besar dan berencana akan membersihkan badan di sana. Ternyata
pintu kamar mandi masjid itu terkunci. Aduh, bagaimana ini? Aku sudah cukup
hafal setiap lokasi masjid ini karena beberapa kali aku mengikuti acara yang
diselenggarakan di masjid ini. Yang paling sering saat dulu mendampingi
anak-anak dalam acara festival anak sholeh atau kegiatan TPA semacamnya. Jika
melalui dalam aku bisa masuk ke kamar mandi tapi harus melompat. Aku tidak
berfikir panjang karena fokus pikiranku hanya di seminar yang sebentar lagi
akan segera dimulai. Aku melompat dan segera saja mandi kemudian ganti pakaian
karena dari semalam aku belum ganti pakaian bahkan dari jogja. Jika tidak ganti
baju sudah tentu aroma badanku tidak kau-karuan.
Segar rasanya badan ini dan segera
aku menuju kantor PDM lagi. Oh, rupanya sduah ada penjaga yang membuka pintu
kamar mandi. Aku menaiki tangga karena memang kamarmandi masjid itu berada di
lantai bawah. Dari jauh aku menagkap aura yang akan permalukan diriku. Wajah
penjaga itu sudah muram, raut muka marah. “Mas, dari mana masuknya! Tadi masih
dikunci berarti kamu loncat?” oh iya pak, maaf sekali. Sekali lagi maaf. Tadi
saya loncat karena ini sebenatar lagi saya mau ke Pendopo kabupaten karena ada
acara di sana. Acaranya mulai jam delapan sementara tadi kamar mandi PDM sedang
dipakai teman saya. “Kamu dari mana? Seharusnya kamu lebih tahu dari saya
tentang sopan santun! Dimana-mana kalau orang masuk tanpa ijin, itu namanya
tidak sopan! Mas, saya itu TK saja tidak tamat tapi saya tahu sopan santun! Seharusnya
mas yang orang yang berpendidikan tinggi lebih tahu dari saya!”
Menyesal bercampur malu. Oh Tuhan,
ini adalah pelajaran amat besar untukku. Aku tidak berfikir panjang dan hanya
berfikir soal tujuan yang aku capai, cepat-cepat mandi. Aku tidak berfikir soal
apakah tindakan untuk mewujudkan tujuanku itu dipandang baik oleh orang lain
ataukah tidak. Aku berbincang banyak dengan penjaga masjid itu. Aku mendapatkan
teguran. Guratan wajah laki-laki paruh baya itu belum menunjukkan bahwa dia
sudah memaafkan aku walaupun sudah berkali-kali aku ucapkan kata maaf. Lama aku
berbicang dengan beliau. Saat raut wajah beliau sudah menunjukkan aura ‘maaf’
aku mohon diri dan berjabat tangan dengan beliau. Aku ucapkan lagi kata maaf
dan aku cium tangan beliau.
Penampilanku
sudah agak rapi dan juga wangi. Aku kembali ke kantor PDM. Rupanya kawanku yang
nantinya menjadi pembicara sudah menungguku untuk segera menuju pendopo kabupaten.
Acara akan segera dimulai. Seminar yang rupanya kurang mengasikkan. Aku lihat
panitia kurang begitu mempersiapkan acara tersebut dengan matang. Tapi aku tak
akan menyalahkan. Aku sadar karena kader-kader inti telah hijrah sebelum
berhasil mencetak generasi lanjutan.
Bayangan
tak begitu panjang, tepat berada dibawah benda. Setelah shalat dhuhur nanti aku
akan langsung pulang saja. Memang sepekan lalu aku sudah pulang dan aku ajak
sahabat dekatku. Kepulangan yang tidak sembarangan tapi membawa misi
‘perjuangan’. Sebelumnya kami sudah merencanakan dengan rapi misi yang aku
bawa menyangkut persoalan yang amat rumit yang sedang menimpaku. Bagaimana
tidak rumit ketika sudah menyangkut persoalan keluarga. Ah, sudahlah. Yang
terpenting adalah aku sudah menemukan kembali kasih sayang keluarga yang telah
lama terjalin.
Sore
hari aku sampai dirumah. Tak ada seorang pun. Kakak sedang ada acara pramuka di
sekolahan, Rama sedang ke tempat simbahnya bersama ibunya, sementara ibuku
belum pulang dari ladang. Aku kirimkan saja pesan singkat kepada kakak. Tak lama
dia pulang bersama Rama. Rama tampak riang. Dia langsung mengambil bola dan
mengajakku main bola. Setelah itu dia minta aku untuk mengajari menggambar di
komputer. Setelah bosan dia ngajak main mobil-mobilan. Dan terus berganti
mainan hingga acara TV berhasil menarik perhatiannya.
Rupanya
sekarang adalah malam minggu. Aku bersama Rama ke tempat simbah yang kebetulan
disana akan diaksanakan acara Doa Membawa Berkat atau kawan kawan kampung
sering menyingkatnya menjadi DMB. Berkat kalau dalam tradisi desaku
adalah satu paket makanan yang dimasukkan dalam dus sebagai oleh-oleh setelah
warga bersama-sama membaca surat yasin. Tentunya karena ada moment penting,
perayaan satu tahun kematian. Aku tidak
ikut membaca yassin. Aku lebih memilih untuk berbincang dengan kerabat. Karena
jika ada momen semacam ini biasanya sekaligus digunakan sebagai acara kumpul keluarga
besar. Aku tahu kalau acara semacam ini adalah bid’ah. Tapi aku hanya mengambil
makna dari ini semua, makna silaturrahim.
Ada isyarat kalau aku tidak
diperbolehkan pergi ke jogja hari minggu. Aku tidak bisa memaksa diri karena
jika ibu yang memerintahkan itu, aku hanya bisa patuh. Kulihku? Ah sudahlah.
Aku teringat kalau Amalia, teman yang waktu di bis kemaren memberikan
pertanyaan yang mengagetkan akan tetapi juga menyenangkan, mengirimkan pesan
sebagai jawaban atas pertanyaanku. Sore tadi aku menanyakan sesuatu kepadanya. Dia
jawab, “Semua keputusanku adalah dari hati..”.
Akan tetapi dia justru memberikan pertanyaan balik kepadaku dan harus
aku berikan jawaban. Oh, ternyata pulsaku habis. Aku jawab pertanyaan balik
dari Amalia menggunakan HP kakak. Aku jelaskan apa adanya.
Aku langsung
hapus pesan terkirim itu. Rasa penasaran menyelimutiku dan mendorongku untuk
membuka pesan terkirim pada HP kakak yang ditujukan kepada Asri. Asri, wanita
yang sejak dua bulan lebih menyita perhatianku. Wanita yang telah membawaku
pada lingkaran masalah yang amat rumit. Aku berfikir sejenak. Jika ada pesan
terkirim berarti kakak baru saja melakukan perbincangan maya dengan Asri. Aku buka kotak masuk dan aku baca
beberapa pesan dari Asri. Oh Tuhanku, apa sebenarnya kehendakMu? Aku menjumpai
nama Amalia dalam pesan yang di kirim Asri itu. kekagetan menyelimutiku. Aku
berfikir keras, apakah ada perbincangan antara Amali dengan Asri? Aku khawatir
kalau-kalau persoalan baru menimpaku. Aku tidak tanyakan hal ini kepada kakak.
Aku hanya bisa merenung dan berfikir.
Sampai dirumah aku langsung duduk
didepan komputer. Aku buka ranangan novel yang belum selesai. Tak ada ide yang
muncul. Tak ada gagasan yang hadir. Perhatianku masih tertuju kepada Amalia dan
juga Asri. Jangan sampai terjadi salah paham. Aku memutuskan ‘batal’ terhadap
Asri adalah benar-bener karena alasan yang sangat mendasar bagiku. Alasan yang
cukup prinsipil. Kehadiran Amalia hanyalah soal waktu saja, yang kebetulan
bertepatan dengan keputusan ‘batal’ itu. Oh Tuhan, inikah makna yang tak
henti-hentinya Kau ajarkan kepadaku?
Aku sama sekali tidak ingin jika
kehadiran Amalia dianggap sebagai sebab dari keputusanku terhadap Asri. Tidak. Karena
memang tidak ada hubungannya sama sekali. Aku mengungkapkan rasa kepada Amalia
pada lebaran tahun lalu. Bagiku harapanku waktu itu sudah hilang. Kalaupun ada
harapan, hanyalah harapan kosong. Karena Amalia telah menyatakan isyarat
‘tidak’. Berat, karena ini sudah soal hati. Kecewa, karena rasa yang sudah
berbicara. Ah sudahlah, itu rasaku waktu itu.
Malam makin larut. Hening mulai terasa
karena Rama telah terlelap dan kedua jarum jam memang telah menyatu mengarah
tepat ke atas. Aku masih duduk di depan komputer tanpa satu kata pun berhasil
aku tambahkan dalam tulisanku. Aku sampaikan persoalan yang sedang aku alami
kepada sobatku. Tentang Astri, Amalia, dan kakak. Kebetulan dia juga sedang
miskin pulsa sehingga dia menelpon aku menggunakan telpon rumah. Dia membuatku
tenang. Sudahlah, semua akan baik-baik saja.
Amalia sms. Rupanya dia juga kaget
dengan apa yang dikatakan sobatku itu. Ternyata sebelum menelponku dia menelpon
Amalia terlebih dahulu. Aku sebenarnya kasihan terhadap Amalia. Dan amu juga
tidak bisa berbohong terhadap batinku sendiri. Harapan yang dulu telah punah
kini hadir. Amalia kembali mengirimkan pesan kepadaku dan mengatakan bahwa dia
hadir pada waktu yang tidak tepat. Ah tidak. Tak ada waktu yang tidak tepat.
Aku telpon Amalia dan aku berikan sedikit pengertian, semoga dia merasakan
rasaku.
Aku kembali memikirkan kakak. Pasti
kakak berfikir soal aku, Asri dan Amalia. Kakak hanya mengenal Asri dan sama
sekali tidak mengenal Amalia. Jangankan kakak, aku saja tidak mengerti benar
tentang dia karena memang aku tak banyak berkomunikasi dengannya. Aku harus
mengklarifikasi persoalan ini. Jangan sampai justru Amalia yang tidak tahu
menau persoalan ini justru menerima akibatnya.
Aku tutup file tulisanku dan aku
buka lebaran baru. Aku tulis surat yang aku tujukan untuk kakak. Aku jelaskan
kronologis secara lengkap tenang siapa Asri dan siapa Amalia. Aku jelaskan saat
aku mengenal Asri dan bagaimana aku mengenalnya. Aku ceritakan siapa Amalia dan
bagaimana aku mengenalnya termasuk ketika aku mengungkapkan rasa dan meminta
Amalia untuk bersedia menantiku dibatas waktu pada saat lebaran tahun lalu. Aku
ceritakan bagaimana perasaanku serta pertimbanganku saat aku memilih Asri. Dan
aku certakan pula tentang kehadiran Amalia, pada jum’at sore itu.
Tuhan, semoga kejujuran yang yang
coba aku ungkapkan dapat membuat semuanya akan baik-baik saja. Tak terasa,
pukul dua dini hari. Tapi mataku belum terasa ngantuk. Hanya badanku yang
terasa tak karuan karena siang tadi aku harus memberikan hak kepada ternak yang
ada dirumah. Aku memaksa diri untuk membaringkan badan. Aku paksakan mata ini
agar terpejam.
Ternyata ini hari senin. Aku harus
kembali ke Jogja, merantau mencari makna. Aku pamitan kepada ibu dan kakak. Aku
menunggu bis menuju Kota Banjarnegara. Rama ikut menemaniku, juga kakak. Oh
Tuhan, aku merasakan kasih sayang yang begitu besar. Saat bis datang aku
berjabat tangan dengan kakak dan aku cium pipi serta keningnya. Aku ucapkan
salam kepada kakak, Rama, dan si kecil yang masih dalam rahim kakak.
Sampai di terminal Magelang hari sudah petang. Aku
langsung mencari bis jurusan Jogja. Dapat. Aku mencari tempat yang masih
kosong. Aku menunggu,
lama. Tiba-tiba ada seorang paruh baya duduk disampingku. Aku persilahkan bapak
itu. Dia duduk, menghela nafas. Nampak wajah yang amat lelah. Dia bersandar
pada kursi bis dan aku masih memeluk tas berisikan buku Pendidikan Politik dan
Novel Ibunda yang sama sama tebal. Ada juga oleh-oleh untuk kawan-kawan kos.
Aku teringat orang yang waktu aku pulag kemaren turun di Kretek. Aku yakin aku
akan mendapatkan banyak hal jika aku mau berbincang dengan orang yang ada
disampingku. Akumemakai kata kuci pembuka obrolan. “Pak, turun dimana?”. “Saya
mau ke solo”. “Lho kok ikut jalur Jogja, ngga’ ada yang langsung solo?”.
Pertanyaan-demi pertanyaan berhasil aku rangkai hanya dengan satu kata kunci
itu. Aku tidak lagi banyak bertanya karena bapak itu sudah banyak bercerita. Subhanallah.
Dari Magelang sampai Jogja dia bercerita banyak hak tentang perjalanan hidupnya
yang sesekali menyampaikan pesan kepadaku.
Dia bercerita perjalanan hidupnya
sebelum dia menjadi penjual lumpia. Dulunya dia adalah sales di
perusahaan barang bangunan. Dia menjual bahan bangunan ke toko-toko besi. Karena
prestasinya dia diangkat menjadi supervisor. Dia diberikan fasilitas dan
kepercayaan yang lebih. “Jadi begitu mas, perusahaan itu ngga’ butuh yang
namanya sarjana atau S2! Yang dibutuhkan adalah kerja! Saya itu cuma lulusan SD
tapi saya bisa bersaing dengan para sarjana! Saya bukan sedang sombong mas, cuma
ingin memberitahu mas tentang dunia saat ini!”. Perkataannya membuat keningku
mengkerut dan sedikit kagum. Dia terus saja bercerita, amat bersemangat. “Mas,
mas tahu bagaimana kerjanya supervisor. Enak sekali mas. Tapi kenapa
sekarang saya cuma jualan lumpia? Begini ceritanya mas. Waktu itu anak saya masih
kecil, satu SD kelas 5 dan satunya SMP kelas dua. Mas, saya punya cita-cita.
Saya harus bisa menjadikan anak saya menjadi orang yang baik. Saya harus bisa
mendidik anak saya menjadi orang yang mempunyai jiwa yang tidak bisa dibeli
dengan uang! Mas tau konsekuensinya apa?
Saya harus meninggalkan kerjaan saya karena kerja supervisor menuntut
saya untuk pulang ke rumah hanya seminggu sekali. Nah, kalau begitu bagaimana
dengan perhatian untuk anak saya? Mas, lebih baik saya yang sengsara dari pada
nanti anak saya yang sengsara karena menjadi orangyang tidak baik. Yang namanya
anak jaman sekarang mas, kalau tidak diawasi betul bisa bahaya. Pertama mereka
akanmencoba rokok. Ya, mas. Hanya rokok. Tapi kalau di biarkan terus pasti akan
merambah ke yang lain. Narkoba. Main perempuan. Begitu mas. Saya keluar dari
kerjaan saya.” Lho, terus kerja apa pak? “Saya kembali menjadi sales, tapi
pulang ke rumah dua hari sekali. Sudah mending, pengawasan terhadap anak sudah
bertambah banyak. Saya anggap du hari sekali pulang kerumah masih kurang untuk
perhatian anak saya. Akhirnya saya menajadi penjual barng bangunan. Saya buka
toko bangunan mas. Tapi kenapa saya sekarang menjadi penjualm lumpia? Begitu
kan yang ingin mas tanyakan? Iya mas, saya harus survife. Wah, lulusan SD bisa
bahasa inggris..ha ha ha…” gelak tawanya riang padahal wajahnya nampak letih
kaerna dia menjual lumpia smpai ke Parakan. Dia berangkat jam empat pagi dari
solo. “Krisis menghantam perekonomian para pedagangang material bangunan.
Termasuk pedagang kecil macam saya. Gulung tikar. Kemudian saya harus berfikir
keras karena anak saya yang pertama sudah mau masuk kuliah. Saya menjadi sales
TV. Karena dólar tidak juga stabil, gulung tikar lagi. Sampai akhirnya saya
menjadi penjual lumpia seperti sekarang. Saya kerja hampir tiap hari mas. Waktu
anak saya kuliah saya harus genjot omset saya. Waktu itu saya dapat tujuh juta
sebulan. Tapi sekarang anak saya sudah jadi sarjana, saya kurangu porsi kerja
saya. Saya kerja enam hari full dan hari minggu saya pergi ke gereja. Saya
harus bersyukur atas kenikmatan yang telah diberikan Tuhan kepada saya”.
Aku ingat, besok saya harus PPL dan
aku sama sekali tidak punya bahan. Oh, kenapa yang muncul dalam ingatan selalu
Amalia? Aku sms dia dan meminta bantuan agar mencarikan buku untuk PPL besok.
Entah, bahagia menyelimutiku. Tuhan, inikan nikmat yang Engkau berikan
kepadaku? Tuhan, apakah dia yang akan menjadi melengkapi ruang kosong dalam
batinku? Tuhan, semoga Engkau menetapkan bahwa Amalia benar-benar menjadi yang
terbaik untukku.
Sampailahaku di
terminal Giwangan. Aku turun didepan gerbang masuk terminal. Para tukang becak
dan ojek mendekat menawarkan jasa kepadaku. Aku sudah terlanjur sms kawan kosku
untuk menjemputku. Ah, lama sekali. ku menunggu dengan duduk bersama tukang
becak. Aku sekedar tanya berapa ongkos sampao kekosku. Andai saja Cuma lima
ribu atau lebih sedikit, aku akan naik becak saja. Sekedar memberikan jalan
rejeki kepada beliau. Tapi urung. Dia minta Rp. 20.000,-. Ah, bagaimana makanku
besok?
Sampailah aku di
kamar kosku dengan ojek. Aku tidak bisa menunggu kawanku lama-lama karena aku
sudah janji pada Amalia untuk mengambil
buku di kontrakannya. Tak ada teman yang bisa aku ajak ke sana sehingga aku
bilang, “besok saja di kampus”. Aku hanya terbaring di kamar kosku. Perjalanan
pulang dari hari jum’at kemarin kembali muncul. Amalia. Semoga kau mengerti
keadaanku. Bahwa aku harus
mewujudkan harapan almarhum bapak dan juga harapan ibu. Aku adalah
kepala keluarga setelah bapak meninggal. Karena kakak sudah bertanggungjawab
untuk patuh terhadap suaminya. Kakak bersedia menanggubng kehidupanku di jogja
aku kira hanya atas nama cinta. Semoga kau tahu bahwa aku mencintaimu. Amalia,
mungkin komunitasmu akan mengatakan bahwa kesepakatan kita kini akan membawa pada
kemaksiatan. Tapi aku mencoba untuk menjaga kesucian dan ketulusan cinta. Aku
harus berbagi cinta. Kepada
keluarga, kepada sesama, juga kepada Amalia. Amalia, aku harap kita bisa
membuktikan cinta. Cinta yang akan membuat semuanya menjadi baik-baik saja.
Komentar
Posting Komentar