Ulul albab
Dalam dunia apapun, orang ini selalu
berusaha menghimpun ilmu. Ketika masih menjadi supir angkutan desa ia kerap
mencuri ilmu permesinan sampai pada titik pengetahuan bongkar pasang mesin
lengkap dengan system kerja mesin dari proses pembakaran sampai cara kerja
gigi-gigi mesin sehingga sebuah mobil bisa berjalan. “Kalau jadi supir kok
tidak tahu mesin, itu sebodoh-bodohnya supir. Katanya pernah jadi supir,
ditanya anak cucu soal mesin kok ndak tahu kan lucu…”. Ungkapan itu yang aku
simpan baik-baik dalam ruang sadarku. Ungkapan itu bisa kita terapkan pada
apapun profesimu. Yang intinya adalah seperti ungkapan kanjeng nabi, jika suatu
urusan tidak ditangani oleh ahlinya maka tunggulah kehancurannya. Kalau jadi
supir angkutan desa yang penghasilannya pas-pasan kok harus wara-wiri
panggil montir untuk perbaiki mobilnya, mau dapat apa? Setoran jelas berkurang,
ilmu juga ndak dapat. Itu makna sederhana dari seorang mantan supir yang secara
tidak sadar telah menjadi guruku. Jika kau pandai mencerna kisah di atas maka
kau akan temukan makna tetang ulul albab. Ulul albab itu orang yang selalu
mencari intisari. Selalu menangkap makna dari apapun yang ia jumpai.
Aku semakin yakin kalau guruku yang hanya tamatan SMP itu tergolong manusia ulul albab karena setelah ia beralih profesi menjadi petani pun demikian. Mengembangkan bakteri tertentu untuk membuat pupuk organic sendiri, membuat pestisida organik, bahkan pernah melakukan ujicoba kultur jaringan dan juga pemanfaatan gas buang hasil fermentasi pupuk untuk kompor. Impiannya bisa menjalankan mesin bertenaga gas buang fermentasi pupuk. Jadi kalau masak pakai gas buang hasil fermentasi pupuk, kebutuhan listrik pun demikian. Walaupun itu hanya mimpi namun bingkai semangat yang meliputinya secara perlahan berubah menjadi optimisme.
Hasil yang sudah nyata dari kreatifitas
tersebut adalah dia mampu mengurangi biaya produksi usaha tani yang
berjuta-juta jumlahnya dengan mengganti pupuk bikinan pabrik dengan pupuk
organik bikinan sendiri. Rupanya ketidakmampuan pemerintah menstabilkan harga
sayur mayur tidak menjadikan dia berhenti mencari intisari. Berhadapan
dengannya aku masih tetap kecil tak berguna. Seabreg teori yang kubawa dari kampus ternyata nihil! Hanya
kesadaran saja tanpa aksi realistis sama saja tidak merubah keadaan, jauh jika
dibandingkan dengan dia yang dengan aksinya mampu menghijrahkan mayoritas
petani didesaku kepada model pertanian yang sedikit diliputi ilmu. Tak banyak
yang tahu memang kalau dia adalah revolusioner di bidangnya, tapi perubahan telah
memberikan jawaban. Ndak ada lisensi,
ndak ada penghargaan pemerintah, ndak ada pengakuan dari banyak orang.
Tapi perubahan itu sendiri yang telah memberikan penghargaan padanya.
Apapun itu jika sifatnya makna maka akan
selalu abadi. Ia tidak kenal tempat dan zaman. Jadi kalau kita mampu menarik
makna dari apapun yang kita jumpai berarti kita telah menspiritualkan yang
materi. Merubah materi menjadi cahaya. Kau tahu kan kendaraan yang dipakai
kanjeng nabi untuk mengantarkan kanjeng nabi sampai bertemu Allah? Itulah
buraq, kendaraan yang mampu melesat menembus dimensi waktu dan bergerak secepat
cahaya menembus dimensi ruang. Tentu karena buraq itu sendiri adalah cahaya.
Bagi manusia biasa macam kita rasanya tidak mungkin akan menunggang kendaraan
cahaya seperti kanjeng nabi saat isra’ mi’raj. Yang mungkin kita lakukan ya
menjadi ulul albab, menspiritualkan apapun yang dekat dengan diri kita menjadi
makna. Menjadi cahaya yang akan mengantarkan kita kehadapan Allah…hidup
bersamaNya seperti sebelum ditiupkan kedalam jasad yang materi ini.
Banjarnegara, 9 Juni 2010
Banjarnegara, 9 Juni 2010
Komentar
Posting Komentar