Mereka Berjuang Atas Nama Cinta
“Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.” Bukanlah
karena nama yang ingin terabadikan dan bukan karena jasad yang ingin
disemayamkan di tanah pekuburan para pahlawan. Barangkali Chairil Anwar hendak
mengajak kita semua untuk sedikit menggali makna bahwa “Kami sudah coba apa
yang kami bisa”. Bahwa telah ada upaya untuk menjadikan bangsa ini terbebas
dari belenggu, menjadi bangsa seutuhnya. Karena manusia terlahir sudah dalam
keadaan ‘merdeka’. “Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan
arti 4-5 ribu nyawa” sebagai pajak atas perjuangan yang pada waktu itu amat
bergelora memperjuangkan kesejatian manusia sebagai makhluk yang ‘merdeka’,
menuju kedaulatan bangsa sepenuhnya.
Kiranya tidak. Chairil Anwar tidak ingin mengajak
kita terjebak dalam ruang angan-angan tentang heroisme perjuangan Soekarno,
Bung Hatta, maupun Ahmad Soebarjo. Tidak pula sekedar “Menjaga Bung Karno,
menjaga Bung Hatta, menjaga Bung Sjahrir” atau bahkan terbuai dalam
romantisme sejarah. Tidak. Hanyalah makna dari kata perjuangan yang selalu
hidup di hati para pejuang masa kini yang diharapkan. Agar lentera perjuangan
senantiasa menyala menerangi ruang kesadaran para generasi penerus perjuangan.
Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir adalah
para ‘aktifis’ pada masanya. Mereka telah memilih jalan para pahlawan yang
mewakafkan dirinya untuk ‘ummat’. Lihatlah Bung Karno saat berkata, “Aku
mencintai keluargaku, tapi aku lebih mencintai rakyatku...”. atau saat beliau
katakan, “ Berikan aku sepuluh pemuda maka aku akan rubah Indonesia...”. Ada
sebuah optimisme yang menyala-nyala untuk menjadikan bangsa ini menjadi bangsa
seutuhnya, bangsa tanpa penindasan oleh negeri manapun. Atau lihatlah ketika
Buya Syafii mengatakan, “Jika Al Qur’an memerintahkan manusia untuk pesimis
maka aku adalah orang yang pertama pesimis. Tapi Al Qur’an tidak memerintahkan
manusia untuk pesimis...” karena beliau yakin bahwa “hidup ini terlalu ringkas
untuk di sia-siakan”.
Apa arti 4-5 ribu nyawa dan tulang berselimut debu
yang terbaring antara Karawang-Bekasi dalam sajak Chairil Anwar? Apa pula arti
ratusan hidup yang mati saat Shalahudin Al Ayubi hendak menaklukkan Palestina
dalam Kingdom of Heaven? Barangkali memang benar jika sajak Karawang-Bekasi dan adegan dalam Kingdom of Heaven hanya sebuah
kekuatan kata. Akan tetapi saat kekuatan kata itu lahir berdasarkan sejarah
yang pernah ada di bumi manusia. Ada dialog yang menarik dalam Film Kingdom of
Heaven saat pasukan Shalahuddin hendak memasuki benteng pertahanan pihak
Nasrani. Panglima perang pihak Nasrani memberikan orasi kepada para pasukan
yang akan bertempur. Panglima perang tersebut mengatakan bahwa perang yang mereka
lakukan bukanlah untuk tembok-tembok batu yang dianggap suci itu namun mereka
berperang untuk apa yang ada di balik tembok yakni anak-anak, orang tua, dan
orang-orang lemah. Memang tidak benar sepenuhnya apa yang dikisahkan dalam
adegan tersebut akan tetapi patutlah kita bisa mengambil makna, untuk apa
sebenarnya pengorbanan yang kita lakukan –kalau kita memang telah berkorban-.
Kalau bukan atas nama cinta mungkin Shalahuddin
telah membabat habis orang-orang yang berada dibalik tembok pertahanan. Tapi
justeru dia memberikan perlindungan dan pengawalan kepada anak-anak dan orang
tua serta manusia-manusia lemah hingga sampai ke lokasi pengungsian. Kalau saja
bukan atas nama cinta Soekarno terhadap rakyat maka mungkin dia telah melakukan
sekian kesepakatan untuk memasang karpet merah untuk para pemilik modal dan
mereka akan mengeruk kekayaan bangsa Indonesia dengan tak berterimakasih.
“Revormasi
terus melaju. Api terus melalap kota dan hutan. Bayi-bayi terus dikabarkan
dibuang sembarangan, demam berdarah terus meminta korban, aktivis-aktivis terus
dikabarkan hilang, perusahaan-perusahaan besar terus dibingungkan utang, menteri-menteri
terus bernegosiasi dengan para pemilik piutang, bank-bank terus deg-degan, petinggi-petinggi
negeri terus berusaha meyakinkan, negara-negara donor terus mempertimbangkan
bantuan, ibu-ibu rumah tangga terus mengeluhkan harga bahan-bahan, toko-toko
yang pintunya tak pro reformasi, terus jadi sasaran penjarahan, korupsi, kolusi
dan nepotisme terus menjadi pembicaraan, pengamat terus mengkritik dan
mempertanyakan, pakar-pakar terus berteori, mahasiswa terus berdemonstrasi,
abri terus berjaga-jaga, politisi-politisi terus memasang kuda-kuda, ulama dan
umara terus beristighatsah dan berdoa, modal dan moral terus terkikis, sembako
dan kepercayaan terus menipis, harga-harga terus naik, rupiah yang dicintai
terus melemah, orsospol-orsospol terus bengong, wakil-wakil rakyat terus tampak
bloon, padahal pak harto sudah lengser keprabon. Reformasi terus melaju”.
Demikianlah Mustofa Bisri menggambarkan sebuah jaman yang katanya kita sebut
dengan orde reformasi dimana demokrasi telah dijunjung tinggi. Atau demokrasi
yang dibangun adalah demokrasi yang digambarkan oleh Taufiq Ismail dengan
‘demokrasi kebun binatang’ atau ‘demokrasi hutan liar’. Lalu apa arti darah
yang terkucur akibat laras pistol aparat di Jalan Semanggi 1998 lalu? Atas nama
apa perjuangan waktu itu? Atau barangkali hanya atas nama siapa, bukan atas
nama apa.
Refleksi atas apa yang telah dilakukan memang haruslah tiap waktu dengan
melibatkan kesadaran sepenuhnya dan sejujur-jujurnya. Akan tetapi refleksi yang
dilakukan berdasarkan momen kesejarahan yang tepat semoga akan membuahkan
sebuah tindakan yang menyejarah pula. Karena sebuah aksi betapapun heroisnya
aksi tersebut jika tidak terjadi pada momen yang tepat maka tidak akan
menyejarah. Kalaupun itu bisa direkayasa maka aksi tersebut pun tak akan
bertahan lama karena terlepas dari realitas kesejarahan.
Akhirnya marilah kita sedikit untuk ber-muhasabah, menghitung-hitung
tindakan yang telah diupayakan bahakan kalau perlu memperhitungkan kembali
niatan kita atas apa yang hendak dilakukan. Mustofa Bisri dalam sajak Atas Nama
menulis, “ada yang atas nama Tuhan melecehkan Tuhan, ada yang atas nama
negara merampok negara, ada yang atas nama rakyat menindas rakyat, ada yang atas nama kemanusiaan memangsa manusia, ada yang atas nama
keadilan meruntuhkan keadilan, ada yang atas nama persatuan merusak persatuan, ada yang atas nama
perdamaian mengusik kedamaian, ada yang atas nama kemerdekaan memasuk kemerdekaan. Maka atas nama apa saja
atau siapa saja, kirimkanlah laknat kalian.
Atau atas nama Ku, perangilah mereka!”. Dan atas nama apa perjuangan yang selama ini kita upayakan itu?
Kaum terpelajar adalam golongan manusia yang ditakdirkan mempunayi
pengetahuan lebih lengkap dalam melihat realitas kehidupan dunia ini. Karena itu
kaum terpelajar harus bisa berbuat adil sejak dalam pikiran seperti apa yang
diungkapkan Pramoedya dalam Bumi Manusia, “seorang terpelajar harus juga
belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan..” dan
“semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain.
Harus semakin mengenal batas.. kalau orang tak tahu batas, Tuhan akan
memaksanya tahu dengan caraNya sendiri..”.
Keterhinggaan manusia dihadapan Tuhan telah menjadikan kesetaraan
poisisi manusia dalam kehidupannya. Hanya atas nama keserakahanlah yang menjadi
legitimasi penindasan manusia atas manusia lain, tak ada alasan lain sekalipun
itu adalah atas nama Tuhan. Akan tetapi penindasan atas nilai-nilai kemanusiaan
adalah sebuah keniscayaan dan akan selalu ada di bumi manusia ini selama
‘demokrasi’ Tuhan membebaskan setan untuk menggoda manusia. Tapi ternyata Tuhan
juga tidak menciptakan manusia dengan kesia-siaan melainkan mempunyai tugas
yang serius yakni menjadi khalifah yang menjaga ketentraman dimuka bumi.
Cak Nun dalam tulisannya mengatakan bahwa diatas hukum masih ada cinta.
Lihatlah saat Umar Bin Khatab memberikan separuh harta kemudian disusul Abu
Bakar yang memberikan seluruh hartanya untuk pembiayaan perang. Bukan karena
ketentuan hukum zakat semata tapi karena kecintaan mereka kepada Islam yang
menjunjung tinggi derajat kemanusiaan pada posisi yang seharusnya. Tanpa cinta
dunia akan membeku, demikian Jalaludin Rumi mengungkapkan. Wallahua’lam…
Komentar
Posting Komentar