Sajak Luka Negeriku (Puisi Farid Surya)
Sajak Luka Negeriku
Puisi-puisi
Fareed Surya
Dua Sudut
Engkau
berkata tentang kebenaran
Akupun
berbincang tentang kebenaran
Engkau
berteriak lantang tentang keadilan
Akupun
menyerukan suara keadilan
Engkau
memekikkan takbir
Akupun
meneriakkan takbir
Lalu apa
yang kita perdebatkan
Apa yang
kita perebutkan
Allah ghayyatuna, Muhammad qudwatuna
Atau
jangan-jangan Tuhan kita tak sama
Engkau
bertuhankan posisi, aku bertuhankan oposisi
Engkau
bertuhankan oposisi, aku bertuhankan posisi
Kita
bertuhankan eksistensi
Kita
bernabikan politisi
Kita bergaya
seperti merpati yang begitu menawan hati
Kita
berlagak lembut seperti goyangan pucuk-pucuk padi
Kita
bertutur manis semanis bidadari
Tapi ketika
sampai pada posisi dan eksistensi
Kita adalah
srigala yang melolong dimalam hari
Kita adalah
harimau yang siap menerkam mangsa yang dicari
Jogja,
oktober 2006
Berjalan diatas waktu
Berjalan
diatas waktu
Melihat
senja yang perlahan turun di ujung cakrawala
Melihat
keremangan yang berubah menjadi gelap sempurna
Melihat
burung layang-layang yang perlahan menghilang
Berganti makhluk malam
Berjalan diatas waktu
Melewati hari yang berubah menjadi sunyi
Melewati hari yang makin dekat menuju pusaran waktu
Melewati
hari yang makin mendekat pada pagi
Berjalan diatas waktu
Melihat sisa-sisa malam dalam bentuk yang memanjang
Melihat sisa-sisa kabut dalam bentuk yang lebih bening
Merasakan berkas cahaya yang makin menyala
Berjalan
diatas waktu
Melihat
lukisan alam yang kemudian diam
Melihat
bayang-bayang yang kian memanjang
Melihat bintik-bintik hitam yang merapat menjadi remang
Berjalan diatas waktu
Menghuni dunia yang makin asik saja
Melihat lambaiannya
Melihat goyangan erotisnya
Hingar-bingar musik yang mengiringinya
Berjalan diatas waktu
Berdisko berdansa dan semacamnya
Bernyanyi menari mengumbar saripati
Berjalan diatas waktu
Berdisko hingga pagi
Berdansa hingga senja
Berpesta sepanjang waktu
Menari, terus menari
Bernyanyi, terus bernyanyi
Mengumbar saripati, terus hingga impotensi
Terus goyangkan badanmu
Lenggokkan pinggulmu
Hentakkan buah-buah khuldimu
Hingga melambung segala kesenanganmu
Hingga terbang jauh khayalanmu
Hinga mati.
Dan waktu terhenti
Kau tak lagi berjalan diatas waktu
Tuhan akan
tundukkan segala ambisimu.
Jogja, November 2007
Pasrah
Samudera
tumpah diatas negeri Nuh
Melumatkan
kecongkakan manusia
Meluluhlantakkan
kesombongan manusia
Membersihkan
satu generasi yang diliputi kehinaan dan kekotoran
Samudera
tumpah diatas negeri Nuh
Mengakhiri
episode buruk peradaban manusia
Membersihkan
jiwa manusia dari watak kebinatangan yang sudah tak terkirakan
Kapal
kehidupan Nuh berlayar melintasi dimensi ruang dan waktu
Membawa
manusia yang berbagai-bagai jenisnya
Hingga
disini,
Di negeri
yang sumringah pancaran mataharinya
Yang hangat
rindu udaranya
Yang sejuk
peluk kabutnya
Yang elok
gemulai pantainya
Yang kekar
tegak gunungnya
Yang
melimpah kaya alamnya
Yang beragam
cantik budayanya
Yang subur
tumbuh tanahnya
Yang kaya
melimpah lautnya
Yang biru
cerah langitnya
Yang pandai
silat lidah politisinya
Yang brutal
tingkah aparatnya
Yang membuta
pejabat-pejabatnya
Yang dengan
ramah menindas rakyatnya
Yang pandai
sembunyikan wajahnya
Yang tega
mengalahkan mereka yang sudah tak berdaya
Tuhan,
akankah Kau bersihkan ummat ini seperti Kau bersihkan ummat Nuh
Ataukah akan
Kau akhiri saja kekotoran ini
Aku pasrah.
Banjarnegara,
Juni 2010
Do’a
Wadduhaa,
Wallaili idza sajaa,
Maa wadda’aka rabbuka wamaa qalaa.
Demi waktu,
saat
matahari mulai merambat naik melintasi garis cakrawala
saat manusia
terjebak dalam kesibukan-kesibukan dunia yang makin menyita
saat manusia bersegera melangsungkan kembali agenda-agenda perusakan yang
makin sempurna
saat manusia berbangga dengan apa yang mereka raih, tanpa rasa
berterimakasih.
Demi malam,
saat kesunyian benar-benar hadir bersama malam yang menjadi diam
saat keperkasan ditundukkan oleh keheningan
saat kesombongan melebur bersama alam ketiadaan
saat diri tak menyadari tentang eksistensi
Tuhan tak meninggalkanmu, tak pula benci kepadamu.
Laa yukallifullahu
nafsan illaa wus’ahaa..
Ya Tuhan,
Kami sungguh tak mampu menanggung beban yang ditimpakan kepada kami diluar
batas mampu yang Engkau berikan
Namun kami juga tak sanggup menahan siksa atas agenda-agenda perusakan yang
telah kami kerjakan
Pantaskah kami, mengharap balasan atas kebaikan yang hanya sebutir debu
itu?
Ya Tuhan,
Janganlah engkau hukum kami jika kami terlena terhadap rayuan dunia yang
sungguh mempesona..
Ya Tuhan,
Jangan Engkau bebankan kepada kami beban yang tak mampu kami pikul
sebagaimana beban yang telah Engkau berikan kepada sejarah yang telah
bergulir..
Kami pinta ampunMu, kami mohon maafMu, kami harap rahmatMu.
Engkaulah yang memberikan beban kepada kami, Engkau pula lah yang sanggup
menolong kami.
Sleman, juni 2008
Dibacakan pada penutupan
kongres Mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan.
___________________________________________________________
Fareed Surya, lahir di Wanayasa Kabupaten Banjarnegara pada 20 September
1985. Berkiprah di Muhammadiyah mulai dari Ikatan Remaha Muhamamdiyah di
kampungnya hingga bergabung dengan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah di Kampus
Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Pernah nyantri di Ponpes Mahasiswa Budi
Mulia, sekarang menjadi Kepala Madrasah di Pondok Pesantren Muhammadiyah Ahmad
Dahlan Kabupaten Tegal.
Komentar
Posting Komentar