Mutiara di Dasar Hati


Dunia kampus akan terasa lebih gurih ketika di kasih bumbu organisasi. Entah organisasi apapun, kader atau professional. Organisasi kader maksudnya adalah organsiasi yang orientasi kerjanya memang kaderasisasi. Biasanya organisasi ini bermuatan idiologis atau pemahaman suatu kelompok tertentu. Organisasi professional beda lagi. Dia biasanya hanya berorientasi pada program kerja. Ukuran keberhasilan dua model organisasi itu pun berbeda. Kalau organisasi kader ukuran keberhasilannya ya seberapa banyak kader dan seberapa militant kader yang berhasil “diracuni” sehingga para kader tersebut mempunyai keberpihakan terhadap kelompok. Kalau ukuran keberhasilan organisasi professional ya apakah program kerja yang dirancang itu terlaksna atau tidak.
Sejak awal masuk dunia kampus, sebenarnya aku telah melihat beberapa organsiasi yang nantinya aku masuki. Mulai dari organisasi jurusan sampai tingkatan Universitas aku jajaki, tentunya hanya sebatas meneropong dari kejauhan. Aku aktif dalam berbagai kegiatan yang dilakukan oleh organisasi-organisai di kampus. Tapi entah, aku lebih suka organisasi kader ketimbang profesional apalagi organisasi yang menyangkut hobi. Aku sebenarnya suka fotografi tapi aku enggan masuk UKM fotografi. Aku suka sepakbola tapi aku malas masuk UKM sepakbola. Mungkin itu bermanfaat tapi aku lebih suka orgnisasi kader yang didalamnya menyangkut soal jalan pikiran, baik secara indifidu maupun komunitas.
Dari keaktifanku dalam berbagai kegiatan terutama di jurusan hasilnya aku dimasukkan dalam kepengurusan HMJ saat teman yang seangkatan denganku belum masuk. Saat semester tiga aku terpaksa terpilih menjadi ketua sebuah organisasi kader bernama IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah). Secara kesejarahan memang aku sudah tidak asing lagi dengan organisasi turunannya Muhammadiyah karena alam menghendaki aku terlahir di lingkungan Muhammadiyah. Aku yakin terpilihnya aku menjadi seorang leader dalam organsiasi tingkat Fakultas itu bukan karena militansiku sebagai kader. Waktu itu sebenarnya hanya sebuah keterpaksaan saja, karena memang hanya beberapa orang saja yang mengikuti acara Musyawarah Komisariat.
Aku terpaksa bekerja dalam satu tim yang itu semua adalah kawan-kawan seangkatanku bahkan kebanyakan satu jurusan. Wajar kalau aku sebagai seorang ketua melontarkan ide-ide untuk memajukan organisasi atau untuk menjaring target operasi untuk kemudian “diracuni” dengan pemahaman yang ada pada organisasi. Lama-lama aku merasa amat kewalahan karena kata mereka, ide yang aku lontarkan terlalu tinggi sehingga mereka tidak bisa menterjemahkan apa sebenarnya kemauanku. Tidak jarang aku harus pura-pura ngerti persoalan seperti bagaimana proses pencairan proposal kegiatan, bagaimana menghubungi birokrasi kampus, dan urusan-urusan teknis lainnya. Terkadang untuk meyakinkan orang lain bahwa mereka bisa memang harus menjadi orang yang ‘sok tahu’. Akhirnya organisasi hanya berjalan biasa-biasa saja tanpa sesuatu yang luar biasa. Inilah kegagalanku.
Tapi aku mempunyai sebuah prinsip. Bagaimanapun keadaan organisasi yang aku pimpin yang terpenting adalah menyiapkan orang-orang yang nantinya mau ngurusi organisasi agar tidak mati. Aku bidik satu komplotan dan aku cari siapa kepala komplotan itu. Setelah aku analisa, kemudian aku “racuni” kepala komplotan itu dengan macam-macam pemahaman, tentunya yang bisa menarik dia agar peduli dan mau sekedar ‘ngurip-nguripi’ organiasasi. Entah, mungkin karena kesadaran dari dalam dirinya saja yang membuat terget operasiku mau masuk menjadi pengurus IMM.
Satu tahun sudah masa kepemimpinanku dan terjadilah kembali pergantian pengurus. Sebuah rutinitas sakral dalam sebuah organisasi. Dari musyawarah komisariat itu terpilihlah ketua. Sebut saja namanya Mutiara. Dia satu angkatan denganku. Kadang aku tersenyum sendiri ketika ingat kawan-kawan seangkatanku waktu dulu ketika mereka mengatakan ‘tidak’ saat dipaksa untuk bertanya dalam sebuah forum kajian, mengatakan ‘tidak’ ketika disuruh ngomong didepan forum walaupun hanya forum kecil berisikan lima orang saja. Ah itu hanya peristiwa yang telah berlalu saat aku masih menjadi seorang ketua. Dalam kepengurusan yang baru, aku tidak lagi masuk dalam kepungurusan dan organisasi yang dulu aku pimpin sekarang dibawah komando Mutiara, seorang IMMawati (sebutan untuk kader putri).
Suatu saat aku berbincang banyak dengan kawanku satu jurusan. Dia bercerita banyak tentang Mutiara dan kawan-kawan IMM lainnya, tentunya yang dia kenal. Dia kaget ketika aku katakan bahwa yang memimpin IMM sekarang adalah Mutiara. “Apa, yang jadi ketua Mutiara?. Welah, yang namanya mutiara itu dulu seperti kentongan. Kalau ngga’ dipukul ya ngga’ bakalan bunyi. Tapi mungkin lebih mendingan kentongan, dipukul masih bunyi. Nah mutiara, dipukul pun ngga’ bunyi. Kalau yang lainnya masih mending. Masih banyak orang yang mengenal mereka. Tapi kalau Mutiara, wah jan. Hampir ngga’ ada orang yang tahu kalau dia sekolah di sekolahanku!” . Aku kaget, masa sampai seperti itu? Kawanku tahu benar tentang Mutiara karena dia satu almamater sekolah.
Cerita dari kawanku membuat aku sedikit merenung. Apa sebenaranya rahasia itu sehingga seorang Mutiara yang dulu seperti ‘kentongan’ kemudian bisa menjadi orang penting yang memimpin organiasi tingkat Fakultas. Terlintas dalam pikiranku bahwa itu hanyalah soal kebetulan saja. Atau ini hanyalah soal kecelakaan sejarah, sama seperti aku dulu yang terpilih bukan karena militansi. Tapi entah apakah itu sebuah kecelakaan ataukah kehendak sejarah, yang jelas Tuhan telah mengijinkan takdir untuk menjadikan Mutiara menjadi seorang leader di IMM.
Sore itu aku bergabung dengan beberapa teman IMM di sebuah rumah kontrakan yang kami namakan dengan ‘damar’. Nama itu diberikan oleh Kang Doni, seorang IMMawan yang berhasil menjerumuskan aku ke sebuah lembah yang didalamnya terdapat sebuah danau penuh makna. Yang meracuni aku untuk tidak gampang menghukum tindakan orang layaknya ‘malaikat’. Tidak kusangka, orang-orang yang berbincang denganku itu adalah teman-teman Mutiara pas SMA.  Teman-teman Mutiara berbincang dengan tema sentral tentang Mutiara. Aku melihat wajah keheranan ketika sama-sama tahu bahwa Mutiara telah menjadi seorang ketua, tentunya ketika disandingkan dengan keadaan Mutiara saat SMA. Perbincanku dengan beberapa teman Mutiara ternyata memberikan jawaban. Salah seorang diantaranya mengatakan bahwa setiap orang pasti memiliki mutiara yang tersembunyi jauh didalam hati. Kita akan selalu menunggu waktu untuk mengetahui kapan mutiara itu akan muncul dari dasar hati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Anak Panah

Warongko anjing ning curigo, curigo manjing ning warongko

Pesonamu