Hinakan Diri, Untuk Menghargai
“Apa sebenarnya
kemuliaan itu?” salah seorang kawannya menjawab, “ Inna akramakum ‘indallahi atqaakum, sesungguhnya orang yang
paling mulia disisi Allah adalah orang yang paling taqwa diantara kalian”.
“Jadi sama
sekali tak ada gunanya yang namanya banyaknya harta dan tingginya pangkat itu?”
“Memang tak ada
gunanya jika itu semua tidak disandarkan pada tujuan karena Allah. Semua akan
dapat diterima sebagai amalan baik dan akan tercatat sebagai pahala jika
diawalai atau dilaksanakan dengan sebuah harapan, mengharap keridhaan Allah.”
“Bukankah kita
beribadah itu karena kita mengharapkan syurga dan terjauh dari neraka?”
“Bagi manusia
yang sebegitu kecil dihadapan Allah, rasanya tidak pantas kita mengharap itu
semua kepada Allah. Hanya ridho Allahlah yang akan mendatangkan kebaikan bagi
kita didunia dan di akhirat kelak.”
“Jika kita telah
mendapat ridha Allah apakah kita akan menjadi manusia yang mulia?”
“Kemuliaan
hanyalah disisi Allah dan jika kita patuh pada perintah-perintahNya maka
kemuliaan akan menyertai kita, dalam pandangan Allah tentunya.”
Apa
yang terfikirkan ketika membaca dialog singkat diatas? Barangkali benar, itu
semua berbicara soal kemuliaan. Bahwa sesungguhnya ketaqwaanlah parameter kemulian
kehidupan manusia. Perjalanan yang teramat panjang ketika manusia hendak
mencapai pada derajat taqwa. Manusia harus berkomitmen menjalankan perintah
untuk melakukan dan perintah untuk meninggalkan. Manusia harus mengalahkan ego
untuk dapat mematahkan godaan-godaan yang akan membawa pada kehinaan manusia.
Obsesi
manusia untuk menjadi mulia dalam kacamata Allah ternyata memberikan dampak
besar bagi kehidupan manusia. Orang menjadi tak berfikir sesuai dengan
parameter dunia dalam segala hal. Seorang wanita rela menutup seluruh anggota
badan. Seseorang tak merasa minder ketika harus bercelana diatas mata kaki,
bersurban kemana-mana, berjenggot panjang, dan memakai peci. Walaupun
kebanyakan orang menganggap bahwa penampilan semacam itu adalah ‘kampungan’. Akan
tetapi atas nama menegakkan sunnah anggapan apapun atas mereka justru semakin
menambah keyakinan bahwa kebenaran berada pada posisi mereka karena merekalah
golongan yang sedikit.
Penampilan,
pergaulan, dan tindakan keseharian akhirnya menjadi sebuah keharusan karena itu
adalah wujud dari kepatuhan. Nah sampai disini marilah kita coba memperkirakan
sedikit kinerja syaitan yang akan menggoda manusia dari segala sisi termasuk
sisi tindakan sebagai wujud kepatuhan. Kalau ingin menjadi mulia manusia harus
bertaqwa dalam artian kalau manusia ingin mulia berarti harus patuh pada
perintahNya. Kalau ingin dikatakan sebagai seorang yang patuh maka tindakanpun
harus mencerminkan kepatuhan.
Sekarang
kira-kira bagaimana perasaan orang yang telah berjenggot, jidatnya hitam, atau
berjilbab lebar? Entah, hanya pelakunya saja yang tahu atau jangan-jangan
mereka juga tidak tahu perasaannya yang sebenarnya. Apakah ketika orang sudah
berjilbab lebar atau berjenggot panjang lantas masih memandang seseorang karena
kedudukannya sebagai seorang manusia? Dalam artian memandang seseorang tanpa
melihat tingakat kepatuhannya melainkan melihat kesamaannya sebagai manusia.
Sehingga dia masih mau menerima kebenaran walaupun itu dikatakan oleh seorang
pemabuk misalnya. Nampaknya kok agak susah. Karena berjenggot atau berjilbab
lebar jangan-jangan telah menjadi ukuran kemuliaan akibatnya ketika telah
berjenggot atau berjilbab lebar lantas menjadi orang yang lebih patuh dan lebih
pantas menasehati pemabuk daripada dinasehati pemabuk. Sehingga orang yang
berhak berkata tentang kebenaran adalah orang-orang yang ‘baik’ saja. Ketika
sudah merasa menjadi manusia yang lebih unggul dari manusia yang lain maka yang
jangan-jangan jurus syaitan sudah masuk dalam diri. Menjadi kesombongan.
Apa
akibatnya? Orang semacam itu akan susah untuk menghargai orang lain. Ketika
mengikuti sebuah pengajian yang ditanya pertama adalah ‘siapa yang ngisi?’.
Ketika dianggap tak sesuai dengan jalan pemahamannya maka barangkali akan
didengarkan sebelah telinga. Apalagi ketika komunitasnya berada dalam komunitas
haroker tingkat atas maka ketika berbicara dengan mahasiswa biasa atau orang
awam akan selalu memposisikan diri sebagai seorang penasehat.
Bisakah
kita selalu memposisikan diri sebagai orang yang hina dan tak berharga?
Mampukah kita mengeklaim diri sebagai orang yang tak mulia? Sama sekali tak
akan mengurangi kemuliaan diri dihadapan Allah ketika kita beranggapan sehina
apapun diri kita untuk bisa selalu mengahargai seseorang sebagai manusia. Untuk
selalu bisa menerima kebenaran dari sehina apapun orang yang menyampaikan
kebenaran itu. Tak ada seorangpun yang suci didunia ini sehingga Allah
memerintahkan manusia untuk selalu mensucikan diri. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan
rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih
(dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah
membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.
Komentar
Posting Komentar