Kuterima HadiahMu, Tuhan
Famelia Putri,
adalah nama yang melekat pada diri seorang gadis imut, mempunyai posisi tulang
muka yang tepat, dibalut kulit bersih dan halus, hingga orang-orang menyebutnya
si imut nan cantik. Memang cantik. Apalagi usia Melia, demikian teman-temanya
memanggil, baru saja beranjak remaja alias baru lulus Sekolah Dasar dan akan
segera melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama.
Melia menjumpai alam yang sama sekali baru. Teman-teman yang baru, guru-guru yang
baru, dan model pergaulan yang baru pula. Pada masa transisi seperti ini sangat wajar ketika
terjadi proses adaptasi. Bukan saja adaptasi secara lingkungan akan tetapi juga
adaptasi secara psikologis. Ketika jam berangkat sekolah, wajah imutnya makin
menggemaskan dengan tingkah polah yang berusaha meniru gaya-gaya orang dewasa.
Nampak lucu, tapi kelucuannya itu justru membuat siapapun yang melihatnya
menjadi tertarik untuk menyapa atau meledeknya. Tentu bukan apa-apa, sekedar
ingin melihat bibir ’manyun’ dan kata-kata manja keluar dari mulutnya. Tak
terkecuali kedua orang-tuanya. Orang tua mana yang tidak senang melihat buah
hati tercinta sudah beranjak remaja.
Melia adalah anak pertama dari tiga bersaudara
yang semuanya gadis. Harapan orang tua tentu agar Melia menjadi anak yang
shalehah sehingga dia bisa menjadi panutan dan bisa ’momong’ adik-adiknya.
Harapan itu diwujudkan dengan pengawasan yang ketat terhadap pergaulan Melia.
Dunia keremajaan rupanya lebih besar mempengaruhi
kejiwaannya. Mulai kelas 2
SMP beberapa teman laki-laki mulai mendekat. Dan ini wajar saja. Laki-laki mana
yang tidak tertarik dengan gadis imut nan cantik macam Melia. Melia mulai kenal
dengan pacaran. Tidak tanggung-tanggung, dia pacaran dengan seorang yang bukan
anak sekolahan melainkan dengan seorang preman.
Banyak teman-temannya yang heran dengan apa yang
dilakukan Melia. Mengapa dia mau dengan preman pemabuk macam Leo? Bisa
dipastikan kalau pilihan yang diambil itu bukanlah didasarkan pertimbangan yang
matang dan mendalam. Itu hanya didasarkan pada emosi sesaat. Emosi seorang anak
yang beranjak ’gede’ yang ingin mencoba sesuatu yang baru dalam hidupnya.
Keputusan yang didasarkan pada keinginan untuk membuktikan bahwa dirinya
bukanlah anak cengeng lagi.
Tak ada acara ketemuan di sekolahan karena memang
pacar Melia bukanlah anak sekolahan. Mereka saling bertemu ketika Melia
menunggu kendaraan untuk pulang. Akibatnya sangat jelas, Melia menjadi sering
pulang sore. Keadaan semacam ini rupanya menuntut Melia untuk membuat sekian
cara agar tidak disalahkan. Agaknya Melia sadar dan mengerti betul jika apa
yang dilakukannya itu akan ditentang oleh orang tuanya. Melia mulai mencari
sekian alasan untuk menempatkan dirinya pada posisi yang aman, tidak dimarahi
oleh kedua orang tuanya. Tak ada jalan lain untuk membenarkan ketidakbenaran
selain berbohong. Melia beralasan mengikuti kegiatan sekolahan, alasan yang
menurutnya paling bisa diterima oleh orang tuanya.
Haya beberapa saat saja. Sekian mata telah
memandang. Sekian telinga
telah mendengar. Yang membuat tetangga dan orang-orang kampung Melia mengerti
tentang pergaulannya dengan Leo. Siapa yang tidak geram, siapa yang tidak
kecewa, melihat gadis imut nan cantik bergaul dengan Leo, preman kampung tukang
mabuk pembikin onar.
Sampailah berita pergaulan Melia dengan Leo itu ke
kedua orang tuanya. Suatu saat ketika Melia pulang sore kedua orang tuanya
telah menunggu dirumah. Ketika Melia masuk rumah, langsung di hujani dengan
pertanyaan yang sebenarnya itu adalah luapan kemarahan. Melia bukanlah anak
yang bayak bicara tapi agaknya sangat kuat dalam pendiriannya, ia melawan
dengan sikapnya. Hujan kata-kata kemarahan itu hanya didengarnya. Benteng ego
seorang anak remaja yang ingin membuktikan keremajaannya rupanya terlalu kuat
hingga kemarahan orang tuanya pun tak mampu menembus hingga masuk dalam
kesadarannya. Kemarahan orang tuannya itu tak juga membuat Melia jera. Bahkan suatu ketika Melia menjumpai
kamarnya dalam keadaan yang sama sekali berbeda. Kasur yang tergulung dan barang-barang yang entah
dimana. Semua itu bermakna pengusiran secara halus. Melia masih tetap saja
bergaul dengan Leo, masih juga pulang sore hari, bahkan pelajaran sekolahnya mulai
bermasalah. Kelas 3 SMP nilai Melia anjlok. Kemarahan orang tua bertambah
besar. Pengekangan semakin
kuat, Melia sama sekali tidak diperbolehkan mengikuti kegiatan apapun.
Namum Melia tetap saja berhubungan dengan Leo
hingga awal kelas 1 SMA, ketika emosi kian berubah menjadi batin seorang wanita
yang beranjak dewasa. Seperti halnya model percintaan pemuas gejolah emosi
sesaat, hubungan dengan Leo berakhir dengan kata pertemanan. Ini bukanlah akhir
dari petualangan emosi keremajaan Melia. Seperti sekuntum bunga yang indah.
Ketika hinggap seekor kupu-kupu padanya, telah menanti sekian kupu-kupu untuk
hinggap pada kelopak yang cantik memesona.
Adam adalah yang kemudian. Teman satu SMAnya itu
bukan hanya menjadi teman biasa tapi telah menjadi teman istimewa yang mereka
lebih senang menyebutnya dengan istilah pacar. Tapi ternyata Adam tidaklah jauh
berbeda dengan Leo, hanya nampak lebih baik karena dia anak sekolahan. Akan tetapi
komunikasi Melia dengan Leo masih berjalan, sebatas teman. Itu anggapan Melia
tapi tidak utuk Leo. Leo masih menganggap Melia adalah miliknya.
Sore itu cuaca
masih cerah. Ini sangat menyenangkan bagi siswa-siswa yang baru saja selesai
kegiatan Ekstrakulikuler di sekolahan. Macam-macam gaya anak SMA ketika
bergerombol ramai-ramai pulang sekolah. Melia berjalan bersama teman satu
gengnya. Ketika sampai di depan sekolahan rupanya Leo sudah menunggu. Tentu
bukan tanpa maksud dia menunggu Melia. Leo berambisi untuk bisa bicara dengan Melia tentang hubungan mereka. Melia
menolak karena konsekuensinya sudah sangat jelas, pulang sore dan dimarahi
orang tua. Tapi Leo memaksa. Melia tetap menolak. Hingga Leo mengancam akan
datang ke rumah Melia jika Melia tidak mau berbicara dengannya. Rupanya tak ada
pilihan bagi Melia. Apa yang terjadi jika Leo sampai ke rumahnya, sudah terekam
jelas dalam imajinasi Melia.
Ketika Melia tengah bersama Leo ternyata ada
tetagga Melia yang melihatnya. Tetangganya itu memberitahukan apa yang dilihat
kepada orang tua Melia. Melia bersama seorang preman, tentu menjadi
perbincangan hangat yang memanaskan telinga orang tua Melia. Kedua orang tua
Melia segera menyusul gadis cantik kesayangan mereka. Di tengah jalan mereka
berpapasan. Melia berboncengan dengan Leo. Ayah Melia turun dari motor demikian
juga Melia. Tak perlu waktu panjang, tangan ayahnya mendarat pada muka Melia. Tamparan
sebagai luapan sayang yang tak terhingga dari seorang ayah. Melia tak berkata apa-apa. Hanya menangis,
entah apa yang ditangisi.
Hingga kelas 3 SMA, Melia diketahui menderita
sebuah penyakit. Ketika diperiksa diketahui kalau penyakitnya itu adalah tomor.
Dokter menyarankan agar tumor itu diangkat. Itu kali pertama Melia masuk dalam
ruang operasi. Hingga berhari-hari Melia dirawat di Rumah Sakit. Entah
bagaimana rasa yang menyelimuti kedua orang tuanya ketika mendengar kabar yang
berkembang di masyarakat bahwa Melia aborsi. Ini pukulan yang tidaklah ringan. Melihat
anak yang jelas-jelas terbaring tak tersadarkan diri setelah operasi
pengangkatan tumor, sementara masyarakat mengira Melia melakukan aborsi. Walau
kesedihan itu hanya berada dalam wilayah perasaan tapi ekspresi kesedihan yang
dialami orang tua dengan tingkah polah Melia sebelumnya benar-benar terasa.
Apakah orang tuanya akan menyalahkan Melia karena pergaulannya yang tidak
karuan? Sementara anaknya masih terbaring tak sadarkan diri. Ditambah
desas-desus tetangga yang sungguh tak enak didengarkan. Tak ada yang akan
mereka salahkan selain menyalahkan diri sendiri. ”Saya telah gagal mendidik
anak..”, barangkali itulah yang selalu terngiang dalam benak orang tua Melia.
Melia tersadar. Dijumpainya ayah ibu berada
disampingnya. Mereka menatap Melia dengan tatapan penuh kasih. Amat dalam kasih
itu hingga mata mereka berkaca-kaca. Air bening pun keluar dari sudut mata
Melia mengaris hingga ke telinga. Rupanya tatapan itu mengandung bahasa yang
amat dahsyat hingga menembus ke dalam pusat kesadaran Melia. Tatapan itu segera
menerbangkan Melia pada sikap kedurhakaan dan pembangkangan terhadap kedua
orang tuanya, waktu itu.
Ada banyak cara yang dilakukan Tuhan untuk membuat
manusia mengerti. Penyakit yang diderita Melia barangkali adalah salah satunya.
Jika ayat-ayat kasih sayang yang dibunyikan melalui sikap keras orang tua
terhadap Melia tidak juga dimengerti, ternyata Tuhan memberikan ayat-ayat kasih
sayangNya dalam bentuk yang sama sekali tidak bisa diduga. Hingga pada satu
potongan waktu, Melia memasuki hidup baru. Hidup yang dipenuhi kesadaran
sepenuhnya akan makna kasih sayang orang tua yang tiada habis-habisnya. Tiada
putus-putusnya.
Melia tak lagi berani melakukan pembangkangan yang
tak berterimakasih. Hinga ia lulus SMA dan akan melanjutkan kuliah di Jogja.
Khawatir betul orang tua Melia ketika hendak melepas anak yang ternyata telah
menjadi wanita dewasa. Bayang-bayang akan kenakalan Melia waktu itu masih
nyata, berkejaran dalam rasa kekhawatiran yang sebenarnya. Tapi kecemasan itu makin berkurang melihat
sikap Melia yang sama sekali berbeda.
Tiba saatnya Melia pergi ke Jogja. Sudah ada
niatan dalam hatinya untuk memakai pakaian yang orang-orang banyak menyebutnya
dengan jilbab. Jilbab yang sekedar menutup kepala seperti layaknya wanita
dewasa memakainya. Tak masuk dalam dugaan kalau Melia diajak ibunya belanja
pakaian dengan model gamis panjang. Tentu tak pas jika pakaian model itu tidak
dipasangkan dengan jilbab yang lebar.
Melalui pamannya, Melia dicarikan rumah kos. Melia
ditempatkan di rumah kontrakan yang disebut-sebut dengan istilah Tazkyah,
pensucian. Rumah kontrakan yang berpenghuni wanita-wanita berjilbab lebar itu
menjadi tempat bagi Melia untuk berproses hingga ia menjadi sadar betul dengan
apa yang dikenakannya tiap hari. Makna kain lebar yang membalut tubuh dengan
segala konsekuensinya.
Bunga itu tak lagi berada diantara rumput-rumput
liar yang siapapun dapat menggapainya. Bunga itu telah berada di taman bunga yang selalu terjaga. Bunga, di antara
rumput liar pun sudah memesona, bagaimana jadinya jika ia berada di taman
bunga?
Orang-orang kini hanya bisa merasakan keindahannya
dari kejauhan. Diamnya masih tetap diam. Paras muka yang imut nan cantik kini
berbingkaikan kedewasaan. Teguh
pendiriannya kini dihias ketaan pada Tuhan.
Kau tak pernah menatapku
Kau tak pernah berkata kepadaku
Tapi kau buka relung jiwaku dengan tatapan
tajammu
Kau letakkan kata-kata dalam ruang
kerinduanku
Kau alirkan makna
Disela-sela kesadaranku
Kau tundukkan aku
Dengan pesona keindahanmu
Hingga Melia memberitahukan kepadaku
tentang pilar peristiwa yang pernah ada menjadi bagian dari hidupnya. Hingga
Melia bercerita kepadaku tentang apa yang terjadi saat ia berjalan melewati
detik-detik waktu. Dan sampai disini, aku mulai mengerti kalau ia adalah hadiah
dari Tuhan yang diberikan kepadaku. Kuterima hadiahMu, Tuhan.
Jogja, November 2007
Komentar
Posting Komentar