Masyarakat Kuantitatif
Kalau Anda menyimak berita bencana di TV
sering kita dengar prediksi kerugian dari bencana tersebut yang selalu
dinyatakan dengan sejumlah uang. Kalau anda menjalin kerjasama dengan orang
lain apalagi jelas-jelas menyangkut usaha maka yang kau namakan laba adalah
jika pendapatan jauh lebih besar dari biaya produksi yang kau keluarkan.
Kemaren hari ada pegawai Telkom yang mencari sebuah lokasi didesaku untuk
dijadikan semacam stasiun transmisi telpon kabel dan jaringan internet, karena
kebetulan yang lokasi itu milik Desa maka kepala desanya yang ambil keputusan,
“Kalau biaya sewanya cuma segitu mending dibuat kios akan jauh lebih
menguntungkan…”. Kalau ada investor dating ke negeri kita maka itung-itungannya
hanyalah berapa besar akan menambah devisa Negara, itu kalau pejabatnya ndak
sakit jiwa. Kalau lagi kumat mereka akan ngomong berapa banyak bagianku? Kalau
anda nemu barang-barang sisa kerajaan Majapahit atau Sriwijaya di tengah laut
maka pikiran mereka adalah berapa harga barang-barang ini jika dilelang. Kalau
ada ABG yang terlanjur berhubungan seks dengan pacarnya maka sikap
keterlanjuran mereka adalah mencari mucikari yang bisa mencarikan lelaki
berduit sehingga muncul ungkapan, “Daripada sama pacar tidak dibayar mending
kerja begini, sudah enak duitnya banyak pula..”. Jadi pikiran mendapatkan
sebanyak-banyaknya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya sudah menjadi idiologi
yang susah digoyahkan atau bahkan tidak dapat digoyahkan.
Lalu kita kembali bertanya soal puasa yang saban tahun kita laksanakan dengan dipuncaki oleh hingar bingar kemeriahan yang luar biasa. Sejarah manusia hidup di bumi berawal dari dihukumnya kanjeng nabi Adam disebabkan oleh pelanggaran atas puasa tidak memakan khuldi. Beranak pinangnya orang-orang Qurasy sampai sekarang disebabkan karena puasanya kanjeng nabi Muhammad atas tawaran Jibril untuk menumpahkan Akhsyabaini ke kota Makkah. Sekarang banyak orang yang tiap harinya mengajar di sekolah tapi dia tidak bisa menjadi manusia pendidik, tiap hari rapat di parlemen tapi tidak bisa menjadi manusia amanah, tiap tahun puasa tapi tidak bisa menjadi manusia puasa. Mendapatkan sebanyak-banyaknya adalah naluri manusia yang tidak perlu diajarkan. Maka orang yang dapat berpuasa dari rasa ingin mendapatkan sebanyak-banyaknya akan mendapatkan posisi yang istimewa dihadapan Allah. Posisi taqwa.
Kalau ada pengemis datang kepada kita dengan mudah kita akan memberikan ia sejumlah uang. Parameter yang kita pakai untuk memutuskan ‘memberi’ kepada pengemis itu adalah parameter kebaikan. Lalu kalau ada penjual sabuk atau jajanan ringan atau nasi bungkus walaupun mereka membawa semangat dan pengharapan kepada kita untuk membelinya, parameter yang kita pakai adalah untung rugi. Bahkan ditawar dengan harga serendah-rendahnya kalau perlu. Ini yang kumaksud bahwa pikiran macam ini sudah menjadi idiologi yang tak sadar sudah mengakar. Lalu manakah yang lebih dalam maknanya, ‘kepasrahan’ pengemis ataukah semangat hidup penjual nasi bungkus? Manakah yang akan kau hargai? Bagi masyarakat kuantitatif seperti ini, yang namanya rugi adalah uang. Yang namanya laba adalah uang. Ndak ada dalam tiap putusan kebijakan diperhitungkan rugi ruhani, selalu laba materi. Ndak ada dalam pilihan sikap memperhitungkan laba akhlak, yang dipersoalkan dan diperdebatkan adalah rugi materi.
Komentar
Posting Komentar