Nyalakan Cahaya dari Minyak Zaitun

Kali ini aku tak akan berkata banyak hal kepada kalian, karena biasanya semakin banyak hal yang dikatakan makin berbusa saja isi pembicaraanya. Bahasa yang digunakan pun menjadi basi. Dibilangnya bisa mematahkan besi tapi nyatanya hanya menjadi patung bisu. Gaya bahasanya seperti orang yang sangat bisa tapi pilihan sikapnya hanya menjadi busa-busa, bahkan kadang berbisa. Tapi inilah model dunia kita, dunia yang bisa menyulap ketela menjadi Q-Tela dengan bungkusnya, yang bisa menyihir para selebritis menjadi wakil rakyat dengan bungkusnya, dunia yang bisa membuat para politikus melenggang ke kursi kekuasaan bermodalkan jenggot dan jidat hitamnya. Tapi sayang, model dunia yang kita buat ini belum juga bisa menyulap para buruh tani di desaku menjadi sedikit lebih maju.
Titik masalahnya sebenarnya hanya satu, kita tak bisa menyalakan cahaya yang mampu menyingkirkan kegelapan yang amat pekat ini. Kita sebenarnya sedang tenggelam ke dasar samudera materialisme, yang apa-apa selalu saja di ukur dengan materi. Menilai orang sukses atau tidak selalu saja diukur dari banyaknya harta yang di timbun saat demi saat. Bahkan ukuran keberhasilan dakwah telah ditempatkan pada kekuasaan yang didapatkan dalam pemerintahan. Allah menggambarkan kondisi ini dengan perumpamaan, seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun” [QS. An Nuur: 40]. Begitu pekat kegelapan itu hingga jika kita mengeluarkan tangan kita, tak mampu kita melihatnya. Timbunan ide-ide keduniawian sudah terlampau tebal bertumpuk hingga hakikat keberadaan diri pun tak mampu dijangkau oleh penglihatan mata batin kita.
Aku juga tak tahu, bagaimana cara untuk menyalakan cahaya jika kegelapan mata pikiran sudah demikian pekatnya? Dimana pula kita bisa mencari minyak zaitun yang hampir-hampir dapat menerangi walau tak tersentuh api? Mulai kini, sebaiknya kita endapkan betul tentang cahaya yang diberikan Allah kepada langit dan bumi. Cahaya yang berada dalam lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca dan kaca itu seakan-akan bintang yang bercahaya seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, yaitu pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya, berlapis-lapis.  Betapapun pekatnya kegelapan dalam kehidupan kita ini, Allah telah berjanji untuk membimbing orang-orang yang mau dibimbing kepada cahaya-Nya[1].
Simpul kesadaranku kembali mengencang tiap kali kubaca ayat ini. Letakkanlah makna ‘cahaya diatas cahaya’ itu kedalam ruang kesadaran kita agar ia menjalar, menggeliat, merasuk kedalam tiap molekul darah, hingga teranglah mata pikiran kita. Hingga tersibaklah timbunan sampah keduniawian yang mempergelap ruang mata batin kita. Hingga nampak terang, seperti apakah jejak-jejak kehidupan yang telah kita buat dibelakang kita dan jalan mana yang akan kita lalui menuju muara akhir kehidupan. Tuhan begitu sayangnya kepada kita walau seringkali kita terlarut dalam arus kehidupan yang menjauhkan kita dariNya.“Tuhan tidak meninggalkanmu, tidak pula benci kepadamu..” [QS. Ad Dhuha: 3].  Balasan seperti apa pula yang akan kita berikan kepadaNya, jika Dia adalah pemilik segala?
Kita hanya bisa melakukan sesuatu dengan apa yang ada pada diri kita, yakni daya fikr dan daya dzikr yang telah diilhamkan oleh Tuhan kepada manusia. Menyatunya daya nalar (fikr) dan daya sadar (dzikr) dalam diri kita, itulah yang disebut dengan kesadaran. Kedaran akan mampu menjadikan segala yang kita perbuat menjadi bernilai dihadapan Tuhan. Kedaran itu pula yang harusnya kita gunakan untuk mengerti, apa itu sebenarnya “cahaya di atas cahaya” dan apa pula yang Al Qur’an sebut dengan minyak dari pohon zaitun?
Kalau boleh kusebut, “minyak” itu adalah ilmu yang dihasilan dari pohon intelektualitas dan “cayaha di atas cahaya” itu adalah ilmu yang sudah dinyalakan dengan api gerakan. Ilmu saja pun akan sanggup menerangi pikiran manusia dari keterbelakangan dan budaya primitif walau ia tak disentuh dengan api gerakan. Ilmu telah membawa peradaban manusia menjadi peradaban yang maju apalagi jika ilmu itu kita nyalakan dengan api gerakan yang selalu kita upayakan? Ilmu itu akan selalu bertambah menjadi berlapis-lapis kemudian akan berubah menjadi cahaya di atas cahaya yang menerangi peradaban manusia.
Aku merindukan sebuah generasi yang gandrung akan ilmu pengetahuan. Walau aku tak lebih dari seorang munafik yang tak mampu berbuat banyak dengan setitik pengetahuan yang kumiliki, namun aku berharap banyak pada kawan-kawan agar mau sedikit berupaya untuk mengumpulkan “minyak zaitun” sedikit demi sedikit. Kumpulkan saja “minyak zaitun” itu karena kita tak pernah tahu siapakah nanti yang akan menyalakannya menjadi cahaya yang radius pencerahannya akan semakin luas. Sederhananya begini, kumpulkan saja potensi-potensi ilmu yang dimiliki oleh kader-kader. Kumpulkan saja, karena kita tidak pernah tahu siapakah yang akan membuat potensi ilmu yang terkumpul itu menjadi gerakan yang merubah tata kehidupan dalam radius yang lebih luas. Eksistensi ikatan bukanlah ketika bendera merah berkibar-kibar di segala sudut akan tetapi sedalam apakah trilogi gerakan (religiusitas, intelektualitas, humanitas) tertancap dalam kesadaran kita. Wallahua’lam.



[1] QS. An Nuur: 35

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Anak Panah

Warongko anjing ning curigo, curigo manjing ning warongko

Pesonamu