Normal dan Tak Normal
Kasih
sayang, cinta, kekerasan, dominasi, adalah anak dari kebudayaan dan bukan sesuatu
yang turun secara tiba-tiba dari langit. Model berfikir manusia yang beraneka
macam telah menjadikan budaya menjadi amat dinamis hingga terkadang gradasi
pergeseran budaya pun tidak kita mengerti dan tidak pula kita sadari. Inilah
sebabnya harus ada sesuatu yang menjadi parameter untuk menilai apakah budaya
tersebut adalah sesuatu yang ‘baik’ ataukah tidak.
Kelompok
masyarakat seperti halnya individu, ia mempunyai tindakan yang berulangkali
dilakukan yang akhirnya menjadi kebiasaan kelompok. Kebiasaan jika itu terus
menerus ada dalam komunitas maka itulah karakter kelompok. Karakter kelompok
dalam satu potongan waktu sangatlah beragam apalagi karakter kelompok dalam
potongan waktu yang berbeda. kelompok berkarakter ‘keras’ suatu saat bisa
berubah menjadi kelompom berkarakter ‘cinta damai’. Semua bergantung pada proses
dialektika yang terjadi dalam kelompok tersebut.
Demikianlah
dinamika social yang selalu amat dinamis. Karakter individu bias secara cepat menjelma
menjadi karakter kelompok dan karakter kelompok yang mempunyai energy cukup
besar untuk membentuk karakter individu. Hal ini bukanlah sesuatu yang mustahil
karena perkembangan informasi saat ini tidak memberikan peluang yang besar
untuk bersembunyi dan menghindar. Budaya kini tidak memberikan kesempatan bagi
kita untuk tidak berkomunikasi dengan dunia. Seperti sebuah riwayat yang mengatakan
bahwa siapa yang berteman dengan penjual minyak maka dia akan ikut wangi
baunya. Sederhana tapi inilah realitanya.
Pertanyaan
yang muncul kemudian adalah bagaimana kita menilai normal tidaknya individu
dalam kelompok atau kelompok diantara kelompok yang lain? Barangkali individu
yang ‘keras’ akan dipandang sebagai orang yang tidak normal diantara kelompok
yang ‘kalem’ tapi orang yang ‘kalem’ akan dianggap tidak normal jika kekerasan
telah menjadi tradisi sebuah kelompok. Orang yang berkata ‘apa adanya’
barangkali akan dianggap tidak normal jika berbohong telah menjadi tradisi
dalam sebuah kelompok dan seorang pembohong akan dianggap tidak normal jika
berada diantara komunitas yang menjadikan kejujuran sebagai sebuah tradisi.
Orang yang berani menggoyahkan rezim tiran akan dianggap tidak normal jika
ketakutan telah membelenggu sebuah kelompok. Orang yang ‘jomblo’ barangkali akan
dianggap aneh ketika ‘pacaran’ telah menjadi budaya sebuah kelompok. Bahkan
Nabi Muhammad pun dianggap orang gila diantara masyarakat Arab yang memiliki
tradisi pagan. Lalu apa yang menjadi parameter untuk menilai orang itu normal
atau tidak normal?
Tradisi
sangatlah dinamis. Apa jadinya jika tradisi yang telah ‘kumuh’ dijadikan
sebagai parameter kenormalan atau ketidaknormalan seseorang? Berjalan seorang
diri di tempat keramaian atau tempat hiburan tanpa menggandeng pasangan
dianggap sebagai orang yang tidak normal. Menjadi orang jujur dan tidak
melakuakn korupsi telah dianggap sebagai tindakan yang tidak normal. Apa telah
demikian kumuh budaya yang ada di bumi yang telah renta ini?
Model-model
kehidupan di dunia ini betapapun baiknya tidak bisa dijadikan parameter untuk
menilai normal tidaknya perilaku seseorang karena model-model tersebut hanyalah
anak dari kebudayaan. Harus digunakan parameter yang bukan sekedar symbol tapi
substansi. Al Qur’an adalah doktrin wahyu Allah yang tidak lekang oleh potongan
waktu karena itu berasal dari Tuhan yang berada diluar ruang dan waktu. Elan
dasar Al Qur’an adalah moral, demikian Fazlur Rahman mengatakan. Bahwa
dalam Al Qur’an terdapat parameter-parameter substansial tentang moralitas.
Budaya
yang kumuh harus dibersihkan sedemikian rupa hingga sisa-sisa tradisi hewani
tidak lagi menjadi bagian dari ‘diri’ manusia. Berat memang. Tapi betapapun
beratnya Al Qur’an telah memerintahkan untuk tetap diupayakan. Membuat orang
keluar dari tradisi yang kumuh bukanlah hal mudah karena untuk merubah sesuatu
yang telah terjadi apalagi yang telah menjadi tradisi butuh kekuatan yang
sangat besar bahkan lebih besar dari apa yang ada pada diri kita. Innallaha
ma’ana. Tuhan tidaklah netral, Dia berpihak kepada kebaikan. Wallahua’lam..
Komentar
Posting Komentar